❄
"Oh iya, kata Dokter lo sakit apa?"
Pandangan Abadi ia alihkan ke arah luar jendela ruang rawatnya. Ia tidak ingin melihat manik mata gadis itu kalau sedang beralibi. "Gue cuma kecapean."
"Nggak parah 'kan?!"
"Nggak."
"Ih! Bad! Hadap sini dong!" Kiara mulai kesal dengan lelaki itu.
"Apa?" Abadi menoleh ke arah Kiara. Raut wajah lelaki itu ia tahan mati-matian agar terlihat biasa saja, padahal jauh dalam hatinya ia sangat gemas akan gadis yang ada di sampingnya itu.
"Emangnya di jendela ada apa sih?! Betah banget hadap sana!" Kiara mengerucutkan bibirnya kesal.
"Lo nggak pulang?" tanya Abadi, berusaha untuk mengalihkan pembicaraan yang ia anggap semakin menyudutkannya.
"Lo ngusir?!" Nada suara Kiara semakin meninggi.
"Pulang."
"Baaad~?" rengek Kiara.
"Nanti nyokap lo khawatir. Lo pasti bolos sekolah juga 'kan?"
Kiara menghembuskan nafas panjag. "Iya deh iya! Tapi nanti gue dateng ke sini lagi ya. Hehe."
"Terserah." Abadi membalas ucapan Kiara dengan ekspresi datar yang dibuat-buat.
"Ok. Gue pulang. Assalammu'alaikum." Gadis berjilbab putih itu pun keluar dari ruang rawat Abadi.
"Wa'alaikumsallam," jawab Abadi dengan lirihan kecil diiringi dengan senyuman yang entah sejak kapan mengembang di bibir pucatnya.
❄
"Assalammu'alaikum, Ma," ucap Kiara sembari membuka pintu utama rumahnya.
"Wa'alaikumsallam. Dari mana saja kamu?" tanya Tiara datar sambil bersidekap dada dengan punggunya ia sandarkan di sandaran sofa.
"Oh, Mama. Kaira mana?"
"Kamu ditanya kok nanya balik?" Tiara bangkit dari duduknya. Maju beberapa langkah mendekati Kiara.
"I-itu Ma. Kiara habis per---"
"Bolos sekolah?!" potong Tiara cepat.
"Nggak Ma. Bukan gitu." Kiara berusaha mengelak.
"Bukan gitu apa? Kamu berani bohong sama Mama? Jelas-jelas tadi Desya sama Wali Kelas kamu telpon Mama kalau kamu bolos sekolah! Kamu nggak masuk kelas dari jam pelajaran pertama sampai terakhir!" jelas Tiara. Amarahnya tak dapat ia bendung lagi.
"Iya, Ma. Kiara memang nggak masuk dari jam pertama sampai terakhir. Tapi Kiara udah izin ke Desya kok."
"Izin ke Desya? Heh... kamu izin ke Desya untuk bolos sama pacar kamu 'kan?!" Ada sesuatu yang Desya bicarakan ke Tiara, tentu saja diwarnai dengan kebohongam yang Desya buat.
"Pacar? Kiara nggak punya pacar, Ma."
"Sudahlah! Kamu sudah berani bohong ke Mama. Mausk kamar sekarang! Dan jangan keluar sebelum Mama suruh kamu keluar!"
Tanpa berucap apa-apa lagi, Kiara segera masuk ke dalam kamarnya. Ia melempar tasnya asal dan merobohkan tubuh lelahnya di atas kasur dengan posisi tengkurap. Air matanya turun deras membasahi kasur yang terbungkus seprai berwarna biru muda itu.
Kenapa Desya tega berbohong pada Mamanya? Tapi itu tidak sepenuhnya salah Desya. Ini juga salahnya. Salah Kiara. Kalau saja Kiara tidak menitip izin ke Desya, kalau saja Kiara langsung meminta izin ke Wali Kelasnya tanpa perantara orang lain, pasti semua ini tidak akan terjadi. Ini salahnya, salah Kiara. Pikir gadis itu, Kiara adalah tipe orang yang tidak bisa melimpahkan kesalahan pada orang lain, ia pasti akan menyalahkan dirinya juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Abadi [LENGKAP]
Ficção AdolescenteLembaran kisah Abadi, laki-laki rapuh yang berlagak paling kuat. WARNING!!! If you have entered into an ABADI story, then it is difficult for you to get out of this extraordinary story. (Jadi, sebelum membaca, siapin emosi aja dulu. Hehehe-,-) *Imag...