❄️
Selesai sholat Maghrib, Abadi langsung kembali bergulat dengan pekerjaannya. Mengantar setiap pesanan dan membiarkan Geo yang bekerja di kasir bersama Sarah.
"Di, makan dulu!" seru Adit sambil menepuk pundak Abadi pelan yang tengah memberikan pesanan terhadap pelanggan terakhir yang datang.
"Maafin teman saya ya mas, mbak hehe," ucap Abadi dengan senyum malunya.
Setelah semua pesanan sudah diantar, para karyawan cafe itu berkumpul di tempat istirahat. Mereka hendak menikmati jatah makanan mereka.
"Sarah, Lo nggak ikut makan?" tanya Adit.
"Gue udah makan tadi siang. Jatah gue Lo ambil aja, Dit," ucap Sarah yang masih berada di kasir.
"Tanpa Lo suruh juga gue bakalan ambil, hehe," Adit terkekeh kecil.
"Dasar lu!" cibir Sarah.
Abadi mengulas senyumnya, ini pertemuan pertamanya dengan mereka tapi ia sangat merasa nyaman. Seperti sudah lama kenal dengan mereka.
Abadi bersyukur hari ini. Ia telah melakukan anjuran sunah dalam Islam sekaligus ia bisa bertemu dengan teman-teman barunya yang sangat baik padanya.
❄️
Jam dinding rumah megah itu menunjukkan pukul 2 dini hari. Lampu temaram di ruang tengah menyambut lelaki bertubuh jangkung itu kala membuka pintu utama rumahnya. Abadi mendapat kunci cadangan rumahnya dari Oma Ningsih saat ia masih kecil, hal ini Omanya lakukan supaya Abadi tetap bisa pulang ke rumah.
Suara dehaman kecil namun menusuk menyambut Abadi. Lelaki itu menoleh ke sofa ruang tengah, seperti yang ia duga, Dimas tengah duduk di sana, menaikkan satu kaki dengan tangan yang dilipat di dadanya dan punggung yang disenderkan di senderan sofa.
"Ayah..." lirih Abadi pelan.
"Kemana aja kamu?"
Abadi terdiam. Menatap nanar ke arah kakinya yang terbungkus oleh sepatu. Ia tak ingin menjelaskannya, toh juga Dimas tidak akan dan tidak akan pernah percaya dengan jawaban yang dilontarkan Abadi.
"Dasar berandal!"
Abadi tak menggubris. Ia tetap pada pendiriannya, diam dan diam.
"Kemarin saya lihat kamu naik mobil anak saya. Kamu sudah mencuci otak anak saya?!" Dimas bangkit dari duduknya, melangkah lebih dekat dengan Abadi.
Abadi menggeleng pelan, tetap dengan posisinya, menunduk.
"Saya tidak sudi jika anak saya mau menerima kamu!"
"Pergi dari hadapan saya sekarang." Dimas berucap dalam.
Tanpa pikir panjang, Abadi langsung melangkahkan kakinya menuju kamarnya, meninggalkan Dimas yang tak bergeming setelah mengucap kalimat itu.
❄️
Malam hari yang gelap, lelaki itu masih tersadar. Duduk di samping ranjangnya sambil memutar-mutar toples obat kecil yang tidak ada isinya.
Abadi menghembuskan nafas pasrah, ini adalah akhir baginya. Selama ini ia bergantung hidup pada obat itu, dan sekarang butiran kecil penopang hidupnya telah habis.
Tuk.tuk.
Terdengar ketukan kecil dari balik pintu. Abadi langsung bangkit dari duduknya, menempelkan daun telinganya pada pintu cokelat yang catnya sedikit mengelupas.
Tuk.tuk.
Abadi mendengarnya lagi.
"Siapa?" lirihnya pelan.
"Gue." Terdengar jawaban singkat dari balik pintu.
Tanpa ba-bi-bu lagi, Abadi segera membuka pintu itu dan benar saja, lelaki dengan tubuh jangkung itu tengah berdiri di depan pintu.
"Gue masuk ya."
Abadi mengangguk.
Setelah itu, Arga segera duduk di kasur milik Abadi. Abadi menutup pintu itu rapat dan duduk di samping Arga.
"Ada apa?" tanya Abadi membuka topik.
"Nih!" Arga menyerahkan sebuah toples kecil dengan isi pil-pil putih.
"A..apa ini?" Abadi gelagapan.
"Obat buat Lo."
Raut kaget dari wajah Abadi tak bisa lelaki itu sembunyikan, "Lo.. udah tau?"
TBC.
HAIIIIII
Hehe akhirnyaaa aku update gengss🥲
Btw part ini agak pendek yaaw cuma 500an kata aja xixi😁Oh iya untuk cover sama judul cerita ini udah aku ganti gengss, dari ABADI jadi THE ETERNAL😘
Jangan lupa vomentnyaaaaa😙
Iluvu💜
Seeyou💚
KAMU SEDANG MEMBACA
Abadi [LENGKAP]
JugendliteraturLembaran kisah Abadi, laki-laki rapuh yang berlagak paling kuat. WARNING!!! If you have entered into an ABADI story, then it is difficult for you to get out of this extraordinary story. (Jadi, sebelum membaca, siapin emosi aja dulu. Hehehe-,-) *Imag...