#8. KIARA MELIHATNYA

236 16 4
                                    

Bel masuk telah berbunyi beberapa menit yang lalu. Kini, kelas IPA 5 sedang belajar Sejarah.

"Anak-anak, dalam peristiwa perang bubut di Bali, di sana ter---"

"Permisi Bu."

Penjelasan Bu Vidya terhenti karena suara seseorang. Ya, suara Bu Bertha.

Guru muda itu tersenyum ke arah Bu Bertha. "Eh, Bu Bertha. Ada apa Bu?"

"Saya boleh pinjem Desya sebentar,"

Bu Vidya mengangguk. "Boleh, Bu. Silahkan."

"Desya. Kamu ikut Ibu ke ruangan."

Kendengar namanya disebut, Desya segera mengangguk.

Bu Bertha pergi duluan setelah sebelumnya mengucapkan terimakasih pada Bu Vidya. Disusul oleh Desya.

Di sinilah mereka sekarang, di ruangan yang sangat identik bagi murid bermasalah.

Suasana ruangan ini tampak tegang. Terjadi perdebatan antara keluarga yang satu dengan keluarga yang lain.

"Nggak bisa gitu dong, Pak! Bapak sebagai pemilik sekolah ini harusnya bertindak tegas pada anak Bapak! Lihat wajah anak saya, jadi memar begini karena tindakan bodoh anak Bapak!" protes Ayah Desya.

Ayah Desya yang sibuk protes, sementara Ibu Desya yang berusaha menenangkan suaminya.

"Sekali lagi, maafkan anak saya, Pak." Entah keberapa kali kalimat itu telah Dimas ucapkan. Memang, di orang banyak, Dimas mengakui Abadi sebagai anaknya. Bahkan ia berlaku baik layaknya seorang Ayah pada anak. Itulah pesan Ningsih, Oma-nya Abadi.

"Anak saya juga jadi luka kayak gini karena anak Bapak! Pokoknya Bapak harus tanggung jawab atas perlakuan anak Bapak pada anak saya!" protes Ibu Devan. Tadi, Devan sempat mebelpon orang tuanya untuk melaporkan kejahatan Abadi.

"Iya. Saya akan bertanggung jawab."

Mereka kemudian menyelesaikan permasalahannya. Setelah urusannya selesai, mereka kemudian pergi meninggalkan ruangan itu kecuali Bu Bertha, Dimas, dan Abadi.

"Bu Bertha, kalau gitu saya permisi dulu."

Bu Bertha mengangguk pada Dimas. "Iya, Pak Dimas."

Setelah itu, Dimas beranjak dari duduknya, sebelum ia pergi dari sana, Dimas sempat melemparkan tatapan tajamnya pada Abadi tanpa sepengetahuan Bertha. Sementara Abadi hanya membalas tatapan Ayah-nya dengan tatapan datar tanpa ekspresi.

"Saya sudah capek urusin kamu terus!" ucap Bu Bertha sesaat setelah Dimas pergi.

"Gue nggak pern---"

"Gunakan bahasa yang baik!" protes Bu Bertha.

"Saya nggak pernah suruh Ibu buat urusin saya! Makanya Bu, jangan sibuk urusin hidup orang lain aja! Ibu juga urusin hidup Ibu sendiri! Udah benar atau belum!" balas Abadi dengan santainya. Punggungnya ia sandarkan pada sandaran kursi, dengan sebelah kakinya terangkat.

"Jaga bicara kamu! Kalau kamu bukan anak pemilik sekolah ini! Sudah dari dulu kamu dikeluarkan!"

"Bodoamat! Gue nggak peduli!" Abadi bangkit dari duduknya. Ia menatap wajah Bu Bertha yang tampak merah padam menahan amarah. "Ingat Bu! Tanpa gue, Ibu mau kerja apa?"

"PERGI KAMU DARI HADAPAN SAYA!" murka Bu Bertha.

Abadi tersenyum penuh dengan kemenangan. "Santai Bro! Santai!"

Setelah itu, Abadi berlari sambil menggelegarkan tawa kemenangannya.

"Baru pertama kali ini saya bertemu dengan murid kayak dia!" gumam Bu Bertha.

Abadi [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang