#24. MABUK

237 11 4
                                    

Kiara berjalan dengan cepat ke arah gerbang sekolah. Beberapa menit yang lalu rapat telah usai, dan ia berniat untuk pulang sendiri. Jadi, ia berniat untuk kabur dari Arga.

Ketika ia sampai di depan gerbang sekolah, ia merutuki Arga habis-habisan! Bagaimana tidak, lelaki itu tengah berdiri di depan mobilnya yang terparkir tepat di depan gerbang sekolah sambil bersidekap dada. Arga menatap Kiara dengan tatapan hangatnya.

Kiara berjalan pelan ke arah Arga. Ia tersenyum kikuk.

"Kenapa nggak ngabarin gue?" tanya Arga to the point.

"Itu... mmm... handphone gue lowbat." Kiara beralibi.

Arga hanya mengangguk tanda percaya. Ia kemudian membukakan Kiara pintu mobil di samping kursi kemudi.

"Mau pulang langsung?" tanya Arga ketika ia dan Kiara sudah masuk ke dalam mobil sport hitam itu.

"Iya. Soalnya udah mau malem," jawab Kiara.

"Hmmm baiklah."

Lelaki bernetra hitam itu tengah berbaring di tempat tidurnya. Tatapannya tak pernah lepas dari langit-langit kamarnya. Lelaki itu terus memikirkan keputusannya itu. Ia takut kalau keputusannya salah dan akan berimbas pada dirinya sendiri.

Abadi memang sudah menjawab tawaran Steven, Ketua Geng Erzox. Abadi memutuskan kalau sampai kapan pun ia tidak akan berdamai dengan Geng Erzox. Karena ia tahu, Geng Erzox mempunyai cara bermain yang licik. Bisa saja 'kan kalau Geng Erzox berpura-pura meminta berdamai. Jadi, Abadi tidak ingin berdamai dengan Geng Erzox.

Abadi menghela nafas panjang. Mencoba menenangkan pikirannya yang runyam. Ia pun melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sudah jam 9 malam, itu artinya ia akan segera berangkat bekerja ke club malam.

Sedetik kemudian, ia bangkit dari duduknya dan mengambil jaket hitamnya dan kunci motornya. Ia pun segera keluar dari kamarnya.

Ketika sampai ruang tengah, Abadi dapat melihat langsung ke arah ruang makan yang diisi oleh ketiga keluarganya. Dimas, Hana, dan Arga. Mereka sedang makan malam. Seperti biasa, tanpa dirinya.

Abadi memang belum pernah sekali-kali satu meja makan dengan mereka sejak kepergian Oma-nya. Abadi mengusap wajahnya kasar. Tidak! Ia tidak boleh terlihat bersedih karena hal sepele itu! Lelaki bertubuh jangkung itu pun melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda.

"Sel merupakan unit terkecil dari makhluk hidup." Kiara bergumam sembari menulis apa yang dia ucapkan di buku tulis miliknya. Ia tampak fokus. Hingga seseorang masuk ke dalam kamarnya.

"Kak Kia!"

Kiara menoleh. "Eh, Kaira. Ada apa Kai?"

Kaira menyodorkan handphone milik Kiara ke arah Kakaknya itu. "Ada yang nelpon, Kak. Tadi Kai lisih sama hape Kak Kia yang bunyi telus. Jadi Kai bawa aja ke sini."

Kiara mengusap puncak kepala adiknya dengan lembut sebelum mengambil handphone-nya. "Makasih ya Kai."

"Iya Kak. Lain kali jangan tinggalin hape Kakak di depan tipi! Di situ banyak mainan Kai!" peringat Kaira dengan lucunya.

Kiara terkekeh pelan. "Iya. Makasih ya Kai."

"Kalau gitu Kai pelgi dulu. Dah Kak Kia!" seru anak itu dan keluar begitu saja dari kamar Kiara.

Kiara menatap layar handphone-nya yang menampilkan ada orang yang menelpon. Dia adalah Arga.

Kiara menggeser tanda hijau di layar ponselnya.

Abadi [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang