#9. SIAPA YANG MENDERITA?

246 16 4
                                    

"Kia, ayo makan sayang. Ayah sama Kai udah nunggu di meja makan," ucap Tiara di balik pintu kamar putrinya itu. Sejak kepulangannya tadi, Kiara langsung masuk kamar, dan sampai sekarang, Kiara belum keluar.

"Kia sayang. Ayo makan, dari tadi kamu belum makan loh," bujuk Tiara.

Cklek.

Pintu itu pun terbuka. Menampilkan seorang gadis dengan mukenanya, Kiara tersenyum ke arah Tiara.

"Maaf, Ma. Tadi Kiara lagi sholat," ucap Kiara.

"Yaudah, kita makan ya."

"Iya Ma. Nanti Kiara nyusul kok."

Tiara pun pergi setelah sebelumnya melemparkan senyuman manisnya ke arah putrinya.

Kiara bisa bernafas lega. Pasalnya, Tiara tidak menaruh curiga sedikit pun pada Kiara. Karena kalau diperhatikan secara detail, kelopak mata Kiara terlihat sembab.

Jam sudah menunjukkan pukul 22.00. Dan seorang lelaki bertubuh jangkung itu baru saja memasuki rumahnya. Ia melihat Dimas, Hana, dan juga Arga yang tengah duduk di sofa ruang tengah.

Abadi tak menghiraukan, ia terus saja melanjutkan langkahnya. Sebut saja Abadi tidak konsisten. Terkadang, ia takut melihat keluarganya, tapi terkadang, ia terlihat santai-santai saja.

"Berhenti kamu di situ." Suara berat itu menginterupsi.

Abadi pun menghentikan langkahnya. Ia berbalik menatap Ayah-nya yang juga tengah mebatapnya dengan tatapan mematikan.

Dimas bangkit dari duduknya, perlahan ia mendekat ke arah Abadi.

"Dasar anak nggak tau diuntung! Puas kamu bikin malu saya! Udah berapa orang tua yang datang melapor ke saya, meminta pertanggung jawaban atas kelakuan kamu!" serang Dimas.

"Mereka yang duluan, Yah," ucap Abadi membela diri.

Dugh.

Sebuah bogeman mentah Dimas layangkan ke arah putranya, hingga Abadi tersungkur ke lantai.

"Kamu memang berandal! Saya sudah capek ngurusin kamu terus!"

Abadi bangkit dari posisinya, ia memegang sudut bibirnya yang tampak mengekuarkan darah segar. "Kapan Ayah urusin Abadi? Kapan? Bukannya yang selalu urusin Abadi itu Oma?"

Plak.

Tamparan keras itu Dimas layangkan. Pipi kiri Abadi tampak merah. Abadi kemudian tersenyum. "Ucapan Abadi benar kan, Yah?"

"Kamu itu nggak tau balas budi! Nasib baik saya bisa menampung kamu di rumah ini!"

"Kenapa nggak dari dulu aja Ayah buang Abadi."

"Saya biarkan kamu di sini karena kemauan Ibu saya!"

Abadi bergeming.

"Dasar anak haram!" cela Dimas.

"Memangnya kenapa kalau Abadi anak haram? Coba saja kalau Ayah nggak akan lakuin tindakan bodoh---"

Bugh.

Dimas kembali melayangkan pukulannya pada Abadi. Nafasnya memburu, entah kenapa, ia benar-benar benci pada putranya itu.

"Kamu jangan salahkan saya! Yang salah di sini kamu! Coba saja kalau kamu nggak lahir! Pasti saya tidak akan menderita seperti ini!"

Abadi kembali bangkit dari posisinya. Ia tersenyum ke arah Ayah-nya itu. Sebuah senyuman sarat akan luka. Luka yang ia tanggung selama 17 tahun. "Ayah seharusnya dapat berfikir lebih jauh lagi. Di sini siapa yang menderita? Ayah? Sejak kapan Ayah menderita? Sejak kapan?"

Abadi [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang