"Sekandung."
Abadi bergeming mendengar sepatah kata yang Kiara baru saja lontarkan.
Sepersekian detik kemudian, pintu putih polos itu terbuka perlahan. Menampilkan sesosok wanita dengan balutan pakaian muslimah, wajahnya tampak sembab.
Tatapan sayu Abadi beradu dengan tatapan berbinar dari wanita itu, Abadi masih belum mengerti akan apa yang terjadi. Hingga wanita itu berjalan mendekat, Kiara mundur beberapa langkah, memberikan ruang pada Ibu dan anak itu yang sudah sangat lama terpisah.
Tangan hangat itu terangkat mengelus surai Abadi, bersamaan dengan itu air mata Tiara luruh. Rasa rindu yang sudah lama terbendung kini akhirnya terbayarkan. Dekapan hangat Tiara pun ia berikan pada Abadi.
"Ma-Mama?" lirih Abadi pelan.
Dalam dekapannya Tiara mengangguk, "Ini mama, nak."
Buliran bening merembes dari sudut mata Abadi, sosok yang selama ini ia cari dan rindukan akhirnya sudah berada di hadapannya, bahkan memeluknya. Untuk pertama kalinya setelah belasan tahun, Abadi kembali merasakan dekapan hangat dan tulus dari seseorang. Tidak ada pelukan yang paling tulus dan hangat selain dari pelukan ibu, dan Abadi sedang merasakannya sekarang.
Tiara melepas pelukannya, memandang wajah dengan rahang tajam itu sejenak, kemudian mengecup pipi dan keningnya, layaknya seorang ibu yang memberikan ciumannya pada bayinya.
"Sayang, maafin mama."
Sebenarnya ada banyak sekali kata yang ingin diucapkan Tiara, namun apalah daya, kemampuannya untuk membuka suara semakin menipis kala dua bola mata sendu itu menatap ke arahnya.
"Mama," lirihan halus itu kembali Tiara dengar, lirihan itu sangat menyayat hatinya.
"Iya sayang, ini Mama." Tiara meraih tangan Abadi yang bebas infus, kemudian mengecupnya pelan.
Abadi memalingkan pandangannya ke arah jendela, ia menghela nafas berat. bibir pucatnya kemudian terbuka. "Kenapa mama datang sekarang? Sekarang bukan waktu yang tepat untuk mama ketemu sama Abadi. Abadi malu ketemu mama dalam keadaan seperti ini." Abadi menatap Tiara dengan tatapan tulusnya. "Maafin Abadi, ma."
***
Tangan kekar itu tergerak membuka knop pintu yang berwarna cokelat usang, bahkan catnya sudah mulai mengelupas. Lelaki paruh baya melangkahkan kakinya ke dalam, baru saja ia masuk ia sudah disambut oleh hawa ruangan itu yang sangat dingin dan lembab. Kamar yang sempit dengan kasur yang keras itu menjadi saksi tumbuh kembang seorang Abadi.
Dimas duduk di atas kasur yang sangat jauh dari kata empuk itu, menepuk-nepuk kasur itu pelan sambil membayangkan putranya yang sangat kuat bertahan di kamar yang seperti ini.
Pandangan Dimas tertuju pada sebuah laci kecil di samping tempat tidur Abadi. Ia pun langsung membuka laci itu. Di dalam laci itu terdapat beberapa lembar kertas. Dimas mengambil semua lembaran itu dan ia membacanya satu per satu.
Lembar pertama merupakan surat pernyataan dari rumah sakit. Surat itu berisikan tentang kondisi kesehatan Abadi yang divonis mengidap penyakit jantung. Tiba-tiba dada Dimas terasa sesak melihat hal itu, ternyata selama ini Abadi mengidap penyakit yang sangat berbahaya. Tapi Abadi sama sekali tidak pernah mengeluh ataupun mengungkit-ungkit tentang penyakitnya di depan semua orang.
Lembar yang selanjutnya merupakan surat tagihan SPP dari sekolah. Abadi telat membayarnya selama dua bulan. Surat itu dikeluarkan sekitar satu bulanan yang lalu. Selama Abadi bersekolah, Dimas tidak pernah mengurusi biaya sekolah Abadi. Semuanya hanya diurusi oleh Abadi.
Lembar yang terakhir merupakan selembar kertas yang telah disobek tetapi kembali disatukan. Bekas lem kertas masih terlihat jelas di setiap sisi sobekan kertas itu. Dimas memicingkan matanya, dan ia pun ingat bahwa kertas itu adalah kertas ujian Abadi yang telah disobek oleh Dimas beberapa hari yang lalu. Hatinya terasa tersayat melihat hal itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Abadi [LENGKAP]
Teen FictionLembaran kisah Abadi, laki-laki rapuh yang berlagak paling kuat. WARNING!!! If you have entered into an ABADI story, then it is difficult for you to get out of this extraordinary story. (Jadi, sebelum membaca, siapin emosi aja dulu. Hehehe-,-) *Imag...