#20. CEMAS

338 13 4
                                    

"Cukup, Ayah."

Ucapan Arga mampu menghentikan pergerakan Dimas. Pria paruh baya itu pun berbalik, menatap Arga dengan tatapan yang sulit dibaca.

"Ayah seharusnya lebih pintar lagi. Arga nggak mau Ayah terjerat kasus pembunuhan." Arga menghampiri Abadi. Ia pun membungkukkan tubuhnya. Jari telunjuknya ia letakkan di depan hidung Abadi, entah kenapa, tangannya sedikit bergetar.

Hati Arga merasa lebih tenang, ketika ia merasakan deru nafas Abadi yang hangat. Ia menarik kedua sudut bibirnya, membentuk sebuah senyuman tipis.

"Ayah, bantu Arga untuk bawa Abadi ke kamar." Ya, Arga tidak ingin kalau Abadi dibawa ke rumah sakit, bisa-bisa, kejahatannya pada Abadi akan terbongkar.

"Arga! Kamu jangan bersikap baik sama anak sialan ini!" peringat Hana.

"Bun, Arga nggak bermaksud buat bersikap baik sama Abadi. Tapi, Arga nggak mau kalau Ayah masuk penjara. Nanti, kalau Abadi kenapa-napa, pasti Ayah yang akan disalahkan."

Ucapan Arga ada benarnya juga. Dimas pun mengangguk singkat, kemudian mengangkat tubuh jangkung anaknya bersama dengan Arga. Bisa dikatakan, ini pertama kalinya bagi Dimas maupun Arga menyentuh lelaki itu dengan sentuhan kelembutan.

Tubuh lemas Abadi dibaringkan di atas kasur. Dimas menatap Arga dingin.

"Ayah berangkat duluan." Dimas pergi begitu saja dari kamar Abadi.

Hana menepuk pundak Arga pelan. "Ini untuk yang pertama dan terakhir kali. Kamu nggak boleh nolongin dia lagi!" tegas Hana.

Arga mengangguk singkat.

Setelah itu, Hana segera keluar dari kamar Abadi.

Kini, tinggal Arga dan Abadi. Arga mendudukkan tububnya di samping kasur Abadi. Ia menatap wajah saudaranya itu dengan lekat. Wajahnya yang penuh dengan luka. Arga sempat membayangkan, bagaimana sakitnya menjadi seorang Abadi.

Arga kemudian beranjak dari duduknya, ia bergegas keluar dari kamar Abadi. Mungkin, kalian mengira kalau Arga keluar, lelaki itu akan berangkat sekolah, dan meninggalkan Abadi sendiri di rumah. Tidak! Arga tidak akan melakukan itu!

Lelaki itu masuk kembali ke dalam kamar Abadi sambil membawa kotak P3K di tangannya. Ia pun duduk di samping Abadi. Arga mengambil beberapa obat dan meneteskannya di atas kapas, dengan perlahan, ia mengobati luka Abadi. Entah apa yang membuat Arga menjadi sangat peduli pada Abadi sekarang. Padahal kan semalam, ia sangat murka pada lelaki yang sekarang tengah terbaring lemah tak berdaya.

Arga membereskan obat-obat yang sudah ia gunakan untuk mengobati Abadi, setelah itu, ia menarug kotak P3K yang tak jauh dari kasur Abadi. Lagi, Arga menatap Abadi dengan lekat. Tiba-tiba, kedua matanya terasa pansa, seperti ada sesuatu yang mendesak ingin keluar. Apakah Arga ingin menangis? Dan jawabannya... Iya! Bahkan sekarang, Arga sudah menangis. Arga juga manusia kan? Jadi, wajar saja kalau dia menangis. Itu berarti, ia masih mempunyai hati dan perasaan.

"Gue tau, lo pasti nggak mudah untuk hadapin dunia lo yang keras ini. Gue sempat bayangin, gimana kalau gue jadi lo. Pasti gue nggak akan sekuat lo, Bad." Lelaki itu berujar lirih. Tangannya terangkat untuk mengelus surai hitam milik Abadi.

Tapi, elusan lembut itu tiba-tiba berubah seperti jambakan yang sangat keras, hingga urat-urat di punggung tangan Arganterlihat sangat jelas.

"Tapi, gue benci sama lo Bad. Lo telah rebut semuanya daru gue! Lo telah rebut kasih sayang Oma, dan sekarang, lo rebut Kiara dari gue! Bangs*t!"

Arga melepas jambakannya, ia mengusap air matanya dengan kasar. Setelah itu, ia keluar dari kamar Abadi. Lelaki itu sempat melirik arloji hitamnya yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah jam 07.35.

Abadi [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang