#59. Telepon

64 8 0
                                    

❄️

Berbagai macam buah-buahan sudah tertata rapi di atas meja. Puluhan nasi kotak pun sudah tersusun dengan rapi. Gadis itu beralih menyiapkan karpet dan langsung menggelarnya.

"Kak Kia!" pekik Kaira dari arah ruang TV.

Kiara yang tengah membersihkan karpet dari debu itupun menghentikan aktivitasnya. "Ada apa, Kai?" tanyanya. "Mau download game baru lagi?"

"Ada telpon," ujar gadis kecil itu sambil menyerahkan handphone Kiara dengan tangan mungilnya.

Kiara melihat siapa yang meneleponnya, di sana hanya tertera nomor orang itu. "Yaudah, Kau tunggu Kak Kia sambil nonton TV aja ya, Kak Kia mau angkat telpon dulu."

"Otey, Kak Kiaa!" balasnya dengan suara imutnya. Kaira langsung bergegas ke ruang TV sesuai dengan perintah kakaknya.

Tanpa menunggu lama lagi, Kiara langsung menekan tombol hijau pada handphonenya.

"Hallo, Assalamu'alaikum?" ucapnya mengawali pembicaraan.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.. lama banget jawabnya. Lagi sibuk ya?" jawab seseorang di seberang sana.

Kiara yang semula memasang wajah penasaran kini mulai mengulum senyum manisnya. "Ishh, kirain siapa!"

"Hehe, gimana suara gue lewat telpon? Keren ga?" Terdengar suara kekehan kecil dari seberang sana.

Kiara menggeleng pelan, tidak lupa dengan senyuman manisnya yang tak pernah luntur. "Ngga, biasa aja si."

"Awas ya, ga traktir bakso nih! Eh by the way makasi buat payungnya ya!"

"Iyaa. Tapi Bad, Lo kok bisa sih alergi sama sinar matahari, perasaan dulu Lo ngga gitu?"

Lelaki itu terdengar menghela napas di balik telepon. "Gue juga bingung, Ra. Pas kena sinar matahari rasanya kulit gue mau kebakar."

Kiara mengerutkan keningnya, ia berusaha berpikir keras untuk mengetahui apa yang sebenarnya lelaki itu alami. "Setau gue sih kalau orang takut sinar matahari selain alergi itu vampir!"

"Kebanyakan nonton film fantasi jadi gini! Mau gue gigit, hm?"

"Bad, Lo ngga minum obat-obatan terlarang 'kan?" tanya gadis itu kemudian.

Abadi dengan cepat mengelak. "Heh! Ngga lah! Dulu pas gue masih nakal aja gue nggak pernah sentuh obat-obatan terlarang, yaa kalau minuman keras sih pernah tapi kalau narkoba ngga! Gini-gini gue masih sayang sama tubuh gue."

"Tapi gitu Bad, orang yang mengkonsumsi narkoba salah satu ciri-cirinya emang gitu. Kulitnya kering, wajahnya pucat, badannya kurus, terus takut sinar matahari. Dan Lo termasuk ke dalam ciri-ciri itu!" Kiara berusaha keras untuk menahan tawanya, ia berniat untuk mengerjai Abadi. Meskipun itu semua memang benar ciri-ciri orang mengkonsumsi narkoba tapi Kiara percaya pada Abadi bahwa lelaki itu tidak pernah dan tidak akan mengkonsumsi obat-obatan terlarang.

"Ngga weh! Kalau ga percaya nih tes aja urin gue, aman tau ngga! Lagian kalau gue konsumsi narkoba emosi gue pasti ga bakalan terkendali 'kan? Dan kalau itu terjadi udah dari dulu Lo gue terkam haha!!"

Kiara mendelik kesal, dia yang niatnya menggoda lelaki itu kini dia yang digoda balik. "Ish yaudah. Gue mau lanjutin pekerjaan gue dulu!"

"Lo lagi ngapain emangnya?"

"Habis maghrib ada pengajian."

"Ooh gitu, maaf ya Ra gue ga bisa datang. Gue sih pengen banget datang buat hadiri pengajian malam ini."

"Pengajian ini hanya dihadiri Ibu-Ibu komplek aja, Lo mau jadi ibu-ibu komplek?"

"Gue maunya jadi bapak dari anak-anak kita nanti, jiakh! Hahaha!"

Kiara dengan sekuat tenaga menahan dirinya supaya gadis itu tidak jingkrak-jingkrak sambil jungkir balik. Ia ingin berteriak sekarang. Bisa-bisanya lelaki itu membuat Kiara salting hanya dengan lewat telepon.

"Ra? Kiara?"

"I-iya?"

"Kenapa diem aja?"

"Tadi gaada sinyal," jawabnya cepat.

"Yaudah deh kalau gitu, sampai ketemu besok ya!"

"Iyaa, jangan sampe kecapean ya! Kalau cape istirahat aja jangan dipaksain."

"Siap bos! Udah ya Kia, cafe udah mulai rame nih. Gue harus cepat tanggap biar dapat gaji tambahan dari bos, hehe."

"Haha aamiin. Kemarin bukannya Lo udah dapat?"

"Iya, karena pendapatan cafe meningkat semenjak gue kerja di sana."

"Wihh sampe berapa persen tuh?" tanya Kiara antusias.

"Pertanyaan yang bagus, Kiara. Coba tebak sampe berapa persen?"

"Tiga puluh persen?"

"Salah."

"Lima puluh persen?"

"Salah, kalau bener gue traktir bakso lagi deh."

"Tujuh puluh persen? Kayanya ngga mungkin-"

"Yapss, bener banget!!"

"Abadi, capuccino 2 sama americano 1!" terdengar teriakan seseorang yang diduga rekan kerja lelaki itu.

"Kia, udah dulu yaa gue udah dipanggil Adit. Assalamu'alaikum Kia!" seru lelaki itu dari balik telepon.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh."

"Lagi nelpon sama siapa?" Entah darimana datangnya, Tiara secara tiba-tiba berada di samping putrinya sambil membawa satu buah semangka yang belum dibelah.

"Ma-mama sejak kapan di sini?" tanya Kiara yang tak bisa menyembunyikan raut kagetnya

"Sejak anak mama bilang ga ada sinyal." Tiara tersenyum menggoda putri sulungnya itu. "Nelpon sama siapa?" tanyanya lagi sambil menatap wajah putrinya.

"Ngga sama siapa-siapa. Ta-tadi Maya yang nelpon, Ma."

"Tumben nelpon sama Maya pipi kamu jadi merah kayak gitu," goda Tiara.

"Aaa mama! Udah deh ma, aah Kia mau beresin dapur dulu..!" kesal gadis itu dengan rona merah di pipinya yang tak kunjung pudar.

Tiara terkekeh geli melihat tumbuh kembang putrinya yang hendak mendekati dewasa. "Jangan bohong ya sayang, masa suara Maya jadi berat gitu? Maya kesambet khodam?"

"MAMA!" terdengar pekikan Kiara dari arah dapur.




TBC.

HAII guysss selamat malam uwuwu!
Maaf yaa aku update-nya malem-malem gini wkwk. Tapi semoga bisa menemani minggu malam teman-teman yaaa😍

Jangan lupa vomentnya guysss ❤️
Sampai ketemu di weekend selanjutnya!

Iluvu 💜

Seeyou💚


Abadi [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang