#25. BERDEBAT

232 12 8
                                    

Abadi terbangun dari tidurnya ketika cahaya mentari pagi menyapanya. Ia memijat-mijat pelipisnya untuk mengusir rasa sakit di kepalanya. Abadi melirik jam tangannya. Sudah jam 08.53.

Abadi berdecak kesal, ia sudah terlambat ke sekolah. Abadi bangkit dari posisinya, ia pun membuka pintu utama rumahnya yang tidak sekarang sudah tidak terkunci lagi. Semalam, Abadi tidur di lantai teras rumahnya.

Abadi masuk ke kamarnya untuk membersihkan diri dan bersiap-siap ke sekolah. Walaupun sudah telat, Abadi tetap akan bersekolah. *rajin sekali kau nak:v

"Ibu tahu, kamu pasti kesulitan mengubah Abadi menjadi lebih baik. Karena Ibu juga seperti itu." Bu Bertha menghela nafas lelah. Ya, ia lelah mengurus Abadi. Bahkan sampai jam sekarang, Abadi masih belum datang ke sekolah.

"Maaf Bu," lirih Kiara. "Kiara akan berusaha."

Bu Bertha mengelus pundak Kiara sambil tersenyum. "Ibu menaruh harapan besar padamu."

"Hukuman apa lagi sekarang?"

Bu Bertha dan Kiara segera menoleh ke sumber suara. Seseorang yang menjadi topik pembicaraan itu kini sudah berada di depan pintu ruang BK.

"Ayo sebutin! Hukuman apa lagi?" ulang Abadi.

Bu Bertha menatap Kiara penuh harap. "Kiara, Ibu menaruh harapan besar padamu."

"InsyaAllah Kiara akan menjalankan amanah Ibu." Kiara menunduk sebagai tanda hormat. "Permisi, Bu."

Bu Bertha tersenyum. "Iya."

Kiara segera menarik tangan Abadi menjauh dari ruang BK. Ia menarik Abadi ke tengah lapangan.

"Push-up 1000 kali!" tegas Kiara.

"Lo kira gue apa?"

"Semua hukuman udah lo jalani 'kan? Jadi sekarang ada hukuman baru! Push-up 1000 kali!"

"Oke!" balas Abadi santai. Ia pun mengambil ancang-ancang untuk push-up.

Sebenarnya, Kiara tidak serius dengan ucapannya itu. Ia pikir Abadi akan menolak, tapi ternyata Abadi akan menjalani hukumannya.

"Bad, bangun."

Abadi yang maish dalam posisi seperti push-up pun menyahut. "Tadi lo suruh gue push-up."

"Bangun, Bad."

Abadi akhirnya berdiri dan mensejajarkan posisinya dengan Kiara. Ia menatap Kiara dengan sorot mata yang sulit diartikan.

"Kenapa lo nggak nolak?" tanya Kiara.

"Kalau lo yang suruh, gue nggak akan pernah nolak," jawab Abadi.

Kiara sempat tertegun mendengar jawaban Abadi. Tapi, rasa tertegunnya sirna ketika ia mengingat kejadian beberapa hari yang lalu.

"Terus kenapa waktu itu lo nolak ketika gue meminta lo untuk berubah?"

"Karena gue nggak bisa lakuin itu," jawab Abadi pelan.

Kiara menghembuskan nafas kasar. Ia menatap netra milik Abadi dengan tajam. "Apa sulitnya sih Bad untuk berubah? Apa sulitnya berhenti jadi brandalan? Apa sulitnya untuk menghentikan kebiasaan-kebiasaan buruk lo itu?"

Abadi menampilkan senyum smirknya. "Lo mandang orang dari satu sisi."

"Satu sisi apa?" tanya Kiara cepat.

"Gini ya Kia. Coba kalau lo gue suruh berubah. Gue suruh lo berubah jadi brandalan. Apa lo bisa?"

Kiara terdiam.

Abadi [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang