#64. Saudara

110 8 1
                                    

❄️

Gadis berjilbab putih itu menggenggam tangan ibunya untuk menyalurkan ketenangan. Tiara sedari tadi tak henti-hentinya menangis, bahkan sampai sopir taksi datang menjemputnya.

Kiara menoleh ke arah jendela mobil berwarna biru muda itu, memandang jalanan yang penuh dengan kendaraan yang berlalu lalang. Hatinya masih runyam, ia masih belum menerima apa yang telah terjadi. Ternyata orang yang telah membuatnya jatuh dalam perasaan itu adalah kakaknya sendiri.

Memori-memori bersama lelaki itu terputar di otaknya seperti kaset rusak. Mulai darimana ia bertemu dengan Abadi sampai ia berpisah dengan Abadi di kantor polisi.

Mobil biru itu berhenti tepat di kantor polisi. Kiara mengambil uang 50 ribuan di dompetnya dan menyerahkan pada sopir taksi itu. "Terima kasih ya, pak."

Ibu dan anak itu turun dari taksi, melanjutkan langkahnya dengan pelan memasuki kantor polisi.

"Selamat pagi, bu," ucap Kiara.

"Pagi mbak, ada yang bisa saya bantu?" ucap seorang polwan dengan ramah, ia yang tengah sibuk dengan komputer pun menghentikan aktivitasnya.

"Kami mau bertemu dengan Abadi, Bu. Kami keluarganya."

"Dengan saudara Abadi Gumilar Andrajaya?"

Kiara mengangguk cepat. "Iya, Bu."

"Mohon maaf mbak, saudara Abadi dilarikan ke rumah sakit Bhayangkara karena kondisi kesehatannya yang menurun drastis."

"Ke-kesehatannya menurun, Bu?" tanya Tiara cepat.

Polisi wanita itu mengangguk. "Iya, Bu. Ibu bisa menemuinya."

"Baik Bu, terima kasih."

❄️

Keduanya memasuki bangunan serba putih itu. Mereka kemudian berhenti di ruangan resepsionis.

"Permisi sus, saya sedang mencari ruangan tempatnya Abadi."

"Baik mbak, saya cari dulu."

Tidak sampai lima menit menunggu, suster tersebut menemukan apa yang Kiara cari.

"Saudara Abadi ada di ruangan 514, mbak."

"Baik sus, terima kasih."

Kiara meraih tangan ibunya, dengan cepat ia pergi ke ruangan bernomor 514.

Di depan ruangan itu, terdapat dua orang polisi yang sedang berjaga. Kiara segera menghampirinya.

"Selamat pagi, pak. Apa benar ini ruangannya Abadi?"

"Iya, benar dek," ucap salah satu polisi.

"Kami dari pihak keluarganya pak, apakah kami boleh masuk ke dalam?" tanya Kiara.

"Mohon tunggu sebentar ya, dokter masih menanganinya di dalam."

"Baik pak, terima kasih."

Tiara tak dapat menyembunyikan raut cemasnya, ia bahkan sampai menggigit jari telunjuk dan jari tengahnya secara bergiliran. Matanya sudah memerah bersiap untuk mengeluarkan air mata.

Tak lama setelah itu, seorang dokter paruh baya keluar dari ruangan Abadi.

"Dokter, bagaimana keadaan anak saya?" tanya Tiara cepat yang harap-harap cemas.

"Dengan ibunya Abadi?"

Tiara mengangguk.

"Baiklah, ibu ke ruangan saya ya."

"Saya boleh masuk ke dalam dok?" tanya Kiara kala melihat dokter itu hendak pergi.

Dokter yang bernametag 'Sudirman' itu mengangguk. "Boleh, asalkan tetap tenang dan jangan ribut."

Abadi [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang