❄️
Kiara hanya diam saja ketika ia di dalam kelas, bahkan ia sempat tidak merespon pertanyaan gurunya tadi. Suasana hatinya masih berantakan, ia masih belum percaya akan apa yang telah terjadi. Desya dan Maya pun sudah mencoba semua hal agar gadis itu membuka mulutnya, tapi tetap saja Kiara tak menggubris, Kiara hanya merespon dengan anggukan dan gelengan tergantung dari pertanyaan apa yang dilontarkan untuknya.
"Ra, ke kantin yuk!" ajak Maya.
"Iya Ra, mumpung udah jam istirahat," sambung Desya.
Kiara menggeleng, "Gue puasa."
Keduanya menghembuskan napas pasrah. "Yaudah, kalau gitu gue sama Maya ke kantin dulu ya."
Kiara kemudian mengangguk pelan. Setelah kedua sahabatnya pergi, Kiara beranjak dari tempat duduknya dan melangkahkan kakinya ke luar kelas. Di depan koridor kelasnya, ia bertemu dengan Arga tengah berjalan bersama Evelyn.
"Hai Kiara, gue turut berdukacita ya," ucap Evelyn dengan ekspresi wajah yang tampak prihatin.
Kiara mengangguk sambil mengulum senyuman tipis. "Makasih."
"Ra, gue sama Evelyn nggak ada hubungan apa-apa kok. Kita cuma disuruh ke perpustakaan buat ambil buku paket," ucap Arga yang membuat Kiara bingung, hal itu sama sekali tida ada hubungannya dan tidak penting bagi Kiara.
"Makasih untuk buahnya." Tidak ingin mengobrol lebih lama, gadis itu segera melanjutkan perjalanannya meninggalkan Evelyn dengan tatapan bingungnya dan Arga yang tiba-tiba saja tersenyum lebar, itu berarti Kiara sudah menerima pemberiannya.
Setelah sampai di koridor kelas 11 IPS, Kiara melihat Rifal bersama dua temannya sedang duduk di depan kelas.
"Ra, kami turut berdukacita yaa," ucap Rifal ketika Kiara berjalan mendekat yang diangguki oleh kedua temannya.
"Makasih, Fal. Oh iya, Abadi mana?" nama yang gadis itu rindukan akhirnya diucapkannya juga.
"Ooh Abadi ga masuk sejak 3 hari yang lalu, katanya sih sakit. Waktu itu dia titip surat sakit ke gue pas di kafe." Rifal menjelaskan.
"Kafe? Abadi 'kan sakit, tapi kok dia kerja?" tanyanya.
''Nahh ituu. Masalahnya itu, dia nggak mau bolos kerja. Padahal waktu itu wajahnya pucet banget."
"Oh gitu ya. Makasih ya Fal, kalau gitu gue pergi dulu." Sebelum Kiara pergi ia mulai ingat akan sesuatu, "Tolong kirimin catatan sama tugas Lo dari 3 hari yang lalu ya."
Kiara mengeluarkan handphonenya, "08 berapa?"
"No-nomor WA gue?" tanya Rifal, ia tak menyangka ada seorang cewek yang meminta nomor WhatsAppnya.
"Iyaa Fal."
"I-iya Ra, 08789**********"
❄️
"Mau pesan apa, mba?"
Gadis yang dipanggil 'mba' itu menoleh dan membuat waiter itu lumayan kaget.
"Kiara,'' lirihnya pelan.
"Duduk," ujar Kiara.
Abadi langsung patuh, ia kemudian duduk di depan gadis itu. Sorot matanya tak berani menatap manik mata Kiara, ia seperti seorang lelaki pengecut.
"Maaf Ra, gue gak sempat ketemu sama Lo waktu itu. Tapi gue datang kok Ra, gue gak mau ketemu sama Lo karena gue tau Lo butuh waktu dan ruang untuk sendiri."
"Iya, gue liat Lo kok waktu itu. Dan gue ke sini bukan untuk bahas hal itu." Kiara menarik napas dalam-dalam. "Cerita ke gue apa yang terjadi sama Lo."
Abadi yang semula menunduk akhirnya mengangkat wajahnya, dengan ragu ia menatap sorot mata gadis itu. "Gue nggak kenapa-napa."
"Wajah Lo pucet, badan lo kurusan. Kenapa? Lo sakit 'kan? Kata Rifal lo sakit dan Lo sebenarnya sakit apa?" tanya Kiara beruntun.
Abadi membasahi bibirnya, ia merapikan rambutnya agar ia terlihat segar. Ia pun tersenyum dengan tulus. "Gue nggak kenapa-napa Kiaa."
"Nggak, Lo pasti kenapa-napa 'kan? Seharusnya sekarang Lo di rumah aja gak usah kerja! Gue nggak mau Lo kenapa-napa Bad. Dan sekarang, Lo sembunyiin sesuatu 'kan dari gue?"
"Ra, Lo sebenarnya kenapa, hm? Coba Lo cerita dulu, biar gue dengerin."
"Gu-gue hiks..." Tiba-tiba gadis itu menangis. Air mata yang sudah ia tahan sedari di sekolah pun akhirnya tak mampu terbendung lagi.
Abadi hampir mengelus punggung gadis itu, namun ia dengan cepat sadar akan posisinya jadi ia urungkan. "Gapapa Ra, nangis aja. Gue gapapa kok kalau dengerin tangisan Lo dulu baru cerita. Nangis aja Ra, dunia nggak larang kita buat nangis."
"Hiks... Hiks.." tangisan Kiara semakin menjadi-jadi, bahkan tak sedikit pengunjung yang melirik iba ke arah gadis itu dan tak sedikit pula yang melirik dengan raut wajah yang aneh.
"Gue trauma, Bad. Gue ngerasa kaya orang lain juga sembunyiin sesuatu dari gue," ucap Kiara memulai keluh kesahnya.
"Itu cuma perasaan Lo aja."
"Gue takut Bad kejadian itu terulang lagi. Papa ternyata terkena penyakit liver sejak lama dan gue nggak tau akan hal itu. Di depan gue papa selalu terlihat baik-baik aja, padahal nyatanya hiks..."
Abadi menatap Kiara dengan tatapan nanar, ternyata itu permasalahan yang sedang dihadapi gadis itu sekarang.
"Gue merasa nggak berguna sebagai anak, Bad. Seharusnya gue bisa jaga papa, seharusnya gue bisa kasih papa minum obat dengan teratur tapi nyatanya? Gue terlalu bodoh, Bad!"
"Kiaa, itu bukan salah Lo dan itu bukan salah orang tua Lo. Itu memang udah takdir kita sebagai manusia."
"Iya Bad, gue tau tapi nggak gini caranya. Seharusnya gue berhak tau tentang apapun yang terjadi tentang mama dan papa." Kiara mengusap air matanya dengan pelan.
"Orang tua Lo lakuin itu supaya Lo nggak khawatir. Lo sama sekali nggak pernah liat bokap Lo minum obat?"
Kiara terdiam sejenak, ia kemudian teringat akan peristiwa dimana ia menemukan beberapa pil obat di kamar orangtuanya. "Pernah, tapi papa bilang itu vitamin dan dengan bodohnya gue percaya aja."
Kiara langsung menatap manik mata Abadi, tatapan mereka beradu. "Jadi, Abadi.. gue nggak mau Lo juga lakuin hal itu. Gue nggak mau Lo sembunyiin sesuatu dari gue. Jadi sekarang, kasih tau gue Lo sakit apa sebenarnya?"
Abadi dengan cepat menoleh ke arah lain, ia mengusap-usap tengkuknya. "Ohh i-itu gue cuma kecapean aja, hehe."
"Dan Lo terus kerja? Lo akan lebih cape kalau kaya gini!" tegas Kiara.
"Kalau sekarang udah ga cape lagi. Besok gue mau masuk sekolah kok, hehe."
Kiara mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Ada 5 buah buku tulis, ia langsung menyerahkannya ke Abadi. "Gue udah salin tugas dan catatannya Rifal. Besok Lo tinggal kumpulin ke guru mapel yang bersangkutan."
Abadi tak dapat menyembunyikan raut wajah bahagianya. "I-ini semua Lo yang tulis, Ra?"
"Iya."
"Wahh terima kasih, Ra. Besok gue traktir bakso deh, hehe."
Kiara terkekeh kecil, "Yaudah, gue pulang dulu ya. Ingat, jangan sampe lelah ya kerjanya. Kalau cape istirahat jangan dipaksain terus."
"Siap bos!" balasnya dengan tangan di tempel di depan kening, membentuk hormat.
TBC.
HAIIIIIII 🤗
Hehehe hari ini aku apdet yaa kawandd😍
Jangan lupa vomentnya 😍Iluvu💜
Seeyou 💚
KAMU SEDANG MEMBACA
Abadi [LENGKAP]
Teen FictionLembaran kisah Abadi, laki-laki rapuh yang berlagak paling kuat. WARNING!!! If you have entered into an ABADI story, then it is difficult for you to get out of this extraordinary story. (Jadi, sebelum membaca, siapin emosi aja dulu. Hehehe-,-) *Imag...