#43. ORANG BAIK

259 15 6
                                    

"Naik ke mobil. Kita berangkat bareng."

"Arga."

Orang yang disebut Arga itu mendesah pelan. "Iya ini gue. Biasa aja dong tatapannya, gue tau kalau gue ganteng hehe." Arga terkekeh di akhir kalimatnya, hal ini tentu saja membuat Abadi semakin tak percaya akan sikap Arga yang berubah drastis padanya.

"Lo serius ngajak gue naik mobil lo?" tanya Abadi. Memastikan kalau ucapan Arga tak main-main.

"Seribu rius." Arga menjawab cepat. "Btw, motor lo mana? Dari kemarin sepulang sekolah gue nggak liat tuh motor."

"Gue balikin, Ga. Motor itu hasil judi, jadi nggak baik buat dipake. Nggak berkah."

Arga tersenyum hangat. "Semangat hijrahnya bro!"

"Tentu," jawab Abadi sambil tersenyum kikuk. Jujur, agak aneh rasanya berbicara dengan baik bahkan tersenyum pada lelaki di depannya itu.

"Yaudah, ayo masuk. Ntar keburu telat. Lo tau 'kan omelan Bu Bertha kaya gimana?" Arga berbalik dan masuk lebih dahulu ke dalam mobil diikuti oleh Abadi yang duduk di samping kursi kemudi.

Arga langsung mengambil posisi nyamannya dalam menyetir dan memakai sabuk pengamannya. Ia menatap Abadi yang tengah memandang lurus ke depan dengan kedua tangannya di atas paha, nampak kaku.

Merasa dirinya ditatap, Abadi akhirnya menoleh menatap Arga balik. Ia mengangkat kedua alisnya bingung. "Kenapa nggak langsung berangkat?"

"Gue nggak mau berangkat sebelum lo pake sabuk pengaman."

Abadi langsung mengambil sabuk pengaman yang ada di belakangnya, ia menatap sabuk pengaman itu dengan bingung. Jujur, ini baru pertama kalinya naik mobil Arga. Ini baru pertama kalinya ia satu mobil dengan Arga, Abadi ... gugup. Saking gugupnya ia bahkan sampai lupa bagaimana cara memasang sabuk pengaman dengan baik.

Melihat Abadi yang kebingungan, Arga tak tinggal diam. Ia langsung mengambil alih sabuk pengaman itu dan memakaikannya pada Abadi.

"Bad." Arga memanggil Abadi dengan nada pelan ketika ia baru saja selesai memakaikan sabuk pengaman untuknya.

"Iya, Ga?"

"Gue tau kalau lo butuh uang buat bayar SPP. Gue pengen lo nggak usah pusing mikirin itu lagi. Untuk urusan SPP lo itu biar gue yang bayarin. Lo nggak usah khawatir lagi soal SPP."

Deg.

Desiran hangat mendesir pelan di dada Abadi. Ia ingin sekali memeluk dan bersimpuh pada lelaki yang duduk di kursi kemudi itu. Ia sungguh tak menyangka jika Arga akan sepeduli ini pada dirinya.

"Ta...tapi Ga. Lo tau dari mana soal SPP gue?"

"Tadi pas gue mau berangkat sekolah, gue denger dentingan sendok di ruang makan. Pas gue mau ke sana gue nggak sengaja dengar obrolan lo sama Ayah."

"Ga, gue nggak tau lagi mau bilang apa sama lo. Makasih banget ya. Dan InsyaaAllah bakalan gue ganti uang lo secepatnya," ucap Abadi dengan mata yang berbinar.

"Gue ikhlas, Bad. Lo nggak usah mikirin buat ganti atau gimana. Gue bener-bener ikhlas bayarin SPP lo." Arga menatap manik mata Abadi dengan tatapan dalam, lantas ia tersenyum simpul. "Kita 'kan saudara."

Abadi tertegun atas pernyataan Arga. Kita 'kan saudara. Kalimat itu seakan menutup luka pada batinnya. Luka yang menganga lebar sejak bertahun-tahun yang lalu kini tertutup sempurna. Ternyata ada satu lagi yang menyayanginya, ada satu lagi yang menghargai kehidupannya, ada satu lagi yang menampilkan senyuman di depannya. Dia adalah... Arga.

Abadi [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang