❄
Bel pulang sudah berbunyi sekitar satu menit yang lalu. Para murid di SMA Kencana pun bergegas untuk pulang ke rumahnya masing-masing.
Kiara masih sibuk memasukkan buku-bukunya ke dalam tas, ia juga sibuk memeriksa barang-barang bawaannya yang ia taruh di dalam tas plastik besar. Huft, ada banyak barang yang harus ia bawa pulang kembali, pasalnya ia tidak menemukan Abadi setelah pertemuannya pagi hari tadi.
Kiara yang hendak beranjak dari tempat duduknya pun dikejutkan dengan kehadiran Desya yang tepat berada di depannya.
"Kia..."
Panggilan itu. Panggilan dari suara merdu itu yang Kiara rindukan. Ia ingin sekali memeluk gadis di depannya itu, tapi apalah daya, jarak sudah tercipta di antara mereka. Jarak yang terus memanjang membuat dua sahabat itu semakin merenggang.
"Kiara, ini pulpen yang tadi gue pinjem. Btw, thanks ya."
Kiara mengerjapkan matanya berkali-kali. Ah, ternyata bukan Desya. Dia Syifa, siswi yang duduk di depan tempat duduknya.
"Oh, i...iya Fa. Woles aja kalau sama gue hehe," balas Kiara sambil cengengesan.
"Gue pulang duluan ya, Ra. Soalnya gue udah dijemput bokap. Oh iya lo ikut pulang aja sama gue ya," tawar Syifa.
"Nggak papa Fa. Makasih ya. Gue pulang naik angkot aja soalnya ada urusan lain yang mau gue urus. Nggak papa 'kan?" Kiara merasa tak enak sudah menolak ajakan Syifa, tapi ia juga merasa tak enak jika harus pulang bersama Syifa, ia takut kalau ia akan merepotkan nantinya. Itulah tak enaknya menjadi orang nggak enakan.
"Ooh iya nggak papa kok, Ra. Yaudah gue pulang dulu ya. Bye, Ra."
"Iya, Fa. Hati-hati."
Kiara memijat-mijat pelipisnya pelan. Bagaiman bisa ia salah melihat orang? Kehadiran Desya terlihat sangat nyata. Syifa benar-benar terlihat seperti Desya oleh Kiara tadi. Kenapa bisa seperti itu? Apakah karena Kiara terlalu merindukan sahabatnya itu?
❄
Jalanan Ibu Kota yang padat terus Kiara perhatikan dari balik jendela angkot. Gedung-gedung pencakar langit pun tak lepas dari pandangannya. Tanpa sengaja ia melihat seseorang yang sangat ia kenal berjalan di trotoar. Sosok yang beberapa menit yang lalu ditelponnya tetapi tak diangkat oleh lelaki itu, bagaimana bisa diangkat bahkan nomornya tidak bisa dihubungi.
"Pak, berhenti Pak. Saya turun di sini." Kiara bergegas mengambil uang di kantongnya dan sesegera membayar sopir angkot itu. "Terima kasih Pak."
Kiara kemudian turun dari angkot itu dan menghampiri seseorang yang berada tak terlalu jauh darinya.
"ABADI!"
Abadi yang berjalan dengan menunduk pun mengangkat wajahnya. Ia agak terkejut melihat penampakan Kiara yang tiba-tiba ada di depannya.
"Lo? Lo kok bisa di sini?" tanya Abadi pada gadis itu masih dengan tatapan tak percayanya.
"Ini 'kan tempat umum." Kiara menyeringai.
"Iya juga sih."
"Lo jalan kaki?"
"Nggak. Gue jalan pake tangan. Tuh..." Abadi hendak mempraktikkan bagaimana ia jika berjalan menggunakan kedua tangannya.
"Eh Bad! Hahaha..." Kiara tak bisa menahan tawanya melihat tingkah lelaki itu.
"Lo sih! Udah tau malah nanya!" kesal Abadi sambil mempoutkan bibirnya.
"Ih so manis lo kayak gitu!"
"So manis? So itu kan artinya sangat. Dan jadinya gue sangat manis. Huaaaaaaaaa makasiii Raaa!" Abadi berucap kegirangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Abadi [LENGKAP]
Teen FictionLembaran kisah Abadi, laki-laki rapuh yang berlagak paling kuat. WARNING!!! If you have entered into an ABADI story, then it is difficult for you to get out of this extraordinary story. (Jadi, sebelum membaca, siapin emosi aja dulu. Hehehe-,-) *Imag...