#44. AKUR

231 17 12
                                    

Bel tanda istirahat sudah berbunyi sejak beberapa menit yang lalu. Rupanya hal itu tak mampu menggerakkan Abadi dari tempat duduknya. Ia hanya memandang lurus ke depan sambil tersenyum kecil. Memori di pagi hari tadi masih bergelayut di pikirannya, menimbulkan lengkungan kecil di bibirnya.

Abadi sangat bahagia akan hal itu. Perhatian hangat dari Arga mampu menghilangkan rasa sakit yang ditutupinya selama bertahun-tahun. Sebuah rasa sakit yang hanya dirinya sendiri yang merasakan, yaitu ... kurang kasih sayang dari kedua orang tuanya.

Sejak kecil ia tak pernah merasakan bagaimana rasanya dipeluk seorang Ibu, bagaimana rasanya dirangkul seorang Ayah. Bahkan ia tidak pernah sama sekali melihat wajah Ibunya, ia sangat ingin mencari wanita yang telah melahirkannya tapi ia benar-benar tidak tahu menahu tentang Ibunya. Dimas, ia tidak pernah membahas tentang Ibu kandung Abadi.

"Hei. Kok bengong?"

Abadi sedikit mendongak, melihat siapa yang datang ke kelasnya. "Arga. Lo nggak ke kantin?"

Arga berjalan mendekati Abadi. "Justru seharusnya gue yang nanya. Lo nggak ke kantin?"

"Hmm... kayanya nggak. Soalnya gue stay di sini aja." Sebenarnya, Abadi juga berniat pergi ke kantin. Tapi karena ia tidak mempunyai uang, jadi ia urungkan niatnya.

"Lo harus makan, Bad. Gue nggak mau liat lo sakit," ucap Arga sambil menepuk sebelah pundak Abadi pelan.

Abadi tak membalas ucapan Arga. Ia hanya diam menatap Arga, ia masih tak menyangka kalau Arga akan benar-benar peduli padanya.

"Ayo kita ke kantin, Bad. Gue traktir. Lo bisa pesan makanan sepuasnya," lanjut Arga, menampilkan deretan gigi putihnya.

"Boleh?" tanya Abadi pelan.

"Apasih yang nggak boleh buat adek gue."

Jangan tanyakan bagaimana perasaan Abadi sekarang. Ia benar-benar senang. Guratan senyuman merekah di wajahnya, menampilkan giginya yang tersusun rapi, jangan lupakan kedua matanya yang berbinar bak sapaan bulan purnama di malam hari. Darahnya seperti mengalir deras dengan degupan jantung yang berpacu cepat.

Kebahagiaan Abadi juga dirasakan oleh seseorang yang tak sengaja melihatnya dari balik jendela kelas. Gadis itu mengurungkan niatnya untuk mengajak Abadi ke kantin karena ia ingin memberikan ruang bagi Arga dan Abadi untuk bersama. Dengan senyuman yang mengembang ia meneruskan langkahnya ke kantin seorang diri.

Perhatian para pengunjung kantin tertuju ke satu titik. Satu titik di mana dua bersaudara yang duduk berhadapan sambil menikmati makanan yang tengah mereka pesan.

"Eh gila! Itu serius Arga makan bareng sama Abadi? Peletnya manjur banget tuh anak haram!"

"Kak Arga mimpi apa sih semalem, bisa-bisanya dia deket banget sama berandal itu."

"Palingan tobatnya brandal itu cuma sebentar doang, atau bahkan dia caper sama Kak Arga!"

"Aaaaa mereka keren bangettt! Ah, jadi cinta deh sama mereka."

"Abadi sekarang beda banget ya, sekarang akhlaknya udah glow up."

"Arga sama Abadi ganteng banget aww! Double kill nih!"

Begitulah bisikan-bisikan yang terdengar dari setiap pengunjung kantin hari ini, ada banyak yang kagum akan mereka terutama kagum pada perubahan Abadi yang berubah 180 derajat. Tapi tak sedikit juga dari mereka yang masih memandang Abadi sebelah mata.

Tak jauh dari tempat Arga dan Abadi duduk, ada seorang gadis yang tak henti-hentinya menyunggingkan senyumannya sambil menyantap semangkuk soto ayam.

"Itu beneran Abadi 'kan? Gue nggak salah liat 'kan?"

Perhatian Kiara teralihkan oleh ucapan yang dilontarkan Desya yang tiba-tiba duduk di samping Kiara. Kiara sedikit tersentak kaget dengan kedatangan Desya yang tiba-tiba.

"Iya," jawab Kiara. "Lo nggak makan?" tanya Kiara berusaha mengusir kecanggungan di hatinya.

"Gue ga nafsu. Lagian gue ke sini bukan untuk makan sama lo. Gue ke sini mau-" Desya menghentikan ucapannya.

"Mau?"

"Udahlah ga penting juga! Itu si Abadi kenapa bisa akur gitu sama Kak Arga?"

"Itu karena Abadi udah berubah sekarang. Lo liat aja, dia sering masuk sekolah, ga pernah terlibat kasus lagi, pokoknya dia sekarang udah berubah. Dia bukan Abadi yang dulu yang lo kenal. Dia sekarang adalah Abadi yang menghormati orang lain bukan Abadi yang suka menindas orang lain," tutur Kiara.

"Palingan itu anget-anget tai ayam. Ga bakalan tahan lama!" sanggah Desya.

"Yang berpendapat kaya gitu tentang Abadi bukan lo doang, tapi banyak. Dan gue sama Abadi udah terbiasa akan hal itu. Aku yakin, semakin lama Abadi akan berubah lebih baik lagi. Bahkan, dia mungkin akan lebih baik daripada orang-orang yang sering omongin yang nggak-nggak tentang dia."

"Maksud lo gue?!" Desya menunjuk dirinya sendiri dengan tatapan marahnya.

"Emangnya gue pernah sebut nama lo?"

"Tapi itu secara tidak langsung merujuk ke gue!"

"Des, kalau lo ngerasa berarti lo emang termasuk ke dalam orang yang gue maksud," balas Kiara berusaha tenang.

"Au ah! Liat muka lo sama muka Abadi tuh sama-sama bikin gue naik darah!" Desya bangkit dari posisi duduknya, saat ia akan pergi meninggalkan Kiara, gadis berhijab itu mengatakan sebuah kalimat yang membuat Desya semakin naik pitam.

"Don't look at my face, friend!"




TBC.

Huaaaaaa akhirnya aku up lagi gesss😭✋ aaaaa seneng banget Alhamdulillah hp aku udah perlahan pulih😭 dan terimakasii juga buat yang udah kasih solusinya gesss luvu❤

Daaaaan finally, thank you guys for your supports! Jujur pas aku dapat komentar maupun vote dari kalian aku merasa orang yang paling bahagia di dunia😭 mungkin aku lebay ya gess tapi jujur itu yang aku rasakan😭

Terima kasih udah nemenin aku nulis dari part-part yang sebelumnya sampai sekarang, ILUVUSOMUCH!

And, fyi part ini ga terlalu panjang ges hehe. Semangattt puasanyaaa!💜

Seeyou💚

Abadi [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang