#31. MASA LALU DESYA

221 14 6
                                    

Kiara terus berteriak meminta tolong. Tapi, usahanya sia-sia. Karena tak ada satu orang pun yang mau merelakan tenaganya untuk membantu lelaki yang sudah terkapar lemas tak berdaya itu.

Tanpa pikir panjang lagi, Kiara langsung memapah tubuh jangkung Abadi. Awalnya, Kiara duga kalau berat badan Abadi lebih berat dibanding dirinya. Namun dugaannya salah, tubuh Abadi sangat ringan bahkan lebih ringan dibanding dirinya.

Banyak pasang mata yang memperhatikan mereka. Ya! Mereka hanya memperhatikan dengan tatapan aneh tanpa berniat untuk membantu sedikitpun. Bahkan tak sedikit orang yang terus saja mencaci Abadi dan mengatakan kalau Kiara terlalu bodoh karena sudah membantu lelaki itu.

Kiara terus saja berjalan sambil memapah tubuh lemas itu ke arah UKS. Ia seakan acuh pada semua makian yang ia dan Abadi terima.

"Assalammu'alaikum," ucap Kiara setelah sampai di ruang UKS.

"Wa'alaikumsallam. Eh, Kiara. Abadi kenapa?" tanya Bu Dinda---dokter UKS sambil membantu Kiara untuk membaringkan Abadi di atas brankar.

"Ini Bu, tadi Abadi pingsan di lapangan waktu dia dihukum," jawab Kiara sambil menetralisirkan nafasnya karena kelelahan.

"Kok bisa? Biasanya walaupun dihukum berapa jam pun Abadi nggak pernah pingsan?" ucap Bu Dinda heran. Ia memakai stetoskopnya dan segera memeriksa Abadi.

"Hmmm." Kiara mengingat-ngingat tentang Abadi sebelumnya. "Oh iya Bu, kemarin Abadi sempat nggak masuk sekolah karena sakit. Mungkin sakitnya masih kebawa sampai sekarang."

Bu Dinda hanya mengangguk-anggukkan kepalanya sebagai respon.

"Gimana keadaannya Bu?" tanya Kiara sesaat setelah Bu Dinda selesai memeriksa Abadi.

"Abadi hanya perlu beristirahat." Bu Dinda tersenyum. "Kamu jangan khawatir ya."

Kiara mengangguk singkat sambil menampilkan senyuman manisnya. "Iya, Bu. Terimakasih banyak."

Bu Dinda menepuk pelan sebelah pundak Kiara. "Sebaiknya kamu ke kelas ya. Kalau Abadi, biar Ibu yang urus."

"Hmmm... Kiara di sini aja dulu Bu. 'Kan belum bel masuk," balas Kiara.

Bu Dinda melirik sekilas arloji hitamnya. "Lima menit lagi bel masuk. Kamu ke kelas ya. Kamu tenang aja, Abadi baik-baik aja kok."

"Baik, Bu. Tapi Ibu nggak papa 'kan jaga Abadi sendirian?"

Bu Dinda terkekeh kecil mendengar pernyataan Kiara. Ia kembali menepuk sebelaha pundak Kiara pelan. "Nggak papa. Ini 'kan sudah tugas Ibu."

"Hehehe. Iya, Bu. Sekali lagi terimakasih banyak Bu. Assalammu'alaikum."

"Iya, sama-sama. Wa'alaikumsallam."

Kiara meninggalkan ruang UKS dengan langkah cepat. Ia ingin sampai di kelasnya tepat waktu. Namun, baru saja ia akan menaiki tangga, sebuah suara menghentikan gerakannya.

"Kiara."

Kiara menoleh. Ia mendapati Bu Bertha yang tengah berdiri menatapnya sambil membawa penggaris kayu.

"Iya, Bu? Ada apa?"

"Kamu tahu Abadi ada di mana sekarang?" tanya Bu Bertha.

"Oh, Abadi. Abadi ada di ruang UKS, BU. Tadi Abadi pingsan di lapangan," jelas Kiara.

"Pingsan?"

Kiara mengangguk. "Iya, Bu."

"Tumben sekali dia pingsan," gerutu Bu Bertha. Suara gerutuannya dapat didengar oleh gadis berjilbab itu.

Abadi [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang