❄
"Makasi ya Ra, lo udah beliin gue banyak banget," ucap Abadi ketika mereka sudah duduk di dalam angkot untuk perjalanan pulang.
Kiara mengangguk. "Iya, sama-sama."
"Eh, tapi lo dapat uang dari mana?"
"Gue nabung lah," jawab Kiara yang berusaha mengecilkan suaranya, pasalnya angkot yang sedang ia tumpangi sedang banyak penumpang.
Abadi mempersempit jaraknya pada Kiara ketika ada seorang Ibu dan anaknya yang mendekat ke arahnya. Abadi tampak tak nyaman akan situasi seperti ini. Ketika perjalanan menuju toko tadi, tidak seramai ini.
Kiara yang duduk paling pojok pun mati gaya. Ia tidak tahu harus berbuat apa, jaraknya terlalu dekat dengan Abadi. Bahkan lengan mereka saling bersentuhan.
"Mas, bisa tolong geseran dikit nggak? Soalnya anak saya kepanasan," kata seorang Ibu yang ada di samping Abadi sambil mengipasi anaknya dengan tangannya.
"Gue juga kepanasan Buk! Gue juga kehabisan tempat untuk geser! Jangan egois dong jadi orang! Gue juga penumpang di sini! Kalau anak lo nggak mau kepanasan jangan naik angkot!" sahut Abadi dengan nada suara dinaikkan.
"Eh Mas! Saya sudah bilang baik-baik kamu malah nyolot! Gini nih anak jaman sekarang, nggak tahu sopan santun!" balas Ibu itu tak mau kalah.
"Ibu-ibu jaman sekarang juga pengen menang sendiri mulu! Lo---"
"Bad! Lo apa-apaan sih!" potong Kiara cepat. "Ibu, maafin teman saya ya. Dia agak emosian."
"Gue emosi kalau ada orang yang mancing emosi gue!" Abadi berusaha membela dirinya sendiri.
Sopir angkot itu pun menghentikan angkotnya. "Maaf, Mas. Lebih baik Mas turun dari angkot saya. Ini sangat menggangu kenyamanan penumpang saya."
"Angkot lo emang nggak ada nyaman-nyamannya dari tadi!" Abadi turun begitu saja dari angkot diikuti oleh Kiara.
"Maaf ya Pak. Ini bayarannya," ucap Kiara sambil memberikan beberapa pecahan uang lima ribuan ke sopir angkot itu.
Setelah angkot itu pergi, Kiara beralih menatap Abadi yang sedang memasang wajah kesal ke angkot yang baru saja mereka tumpangi itu.
"Lo bisa nggak sih, kendaliin emosi lo itu?" tanya Kiara heran.
"Gak!" jawab Abadi singkat.
Kiara menghembuskan nafas kasar. "Lain kali kalau sama orang yang lebih tua, kita harus hormat."
"Ngapain harus hormat? Kita 'kan sama-sama manusia!"
"Iya! Sama-sama manusia! Tapi beda usia! Manusia yang lebih dewasa dari kita harus kita hormati! Itu adalah bentuk dari tata krama kita! Sikap sopan santun kita! Emangnya orang tua lo belum ngajarin tentang itu, hah?!" Kiara sudah kelewat kesal dengan lelaki itu. Menurutnya, jalan pikiran Abadi sangatlah dangkal.
"Iya! Gue belum diajarin sama orang tua gue! Puas lo!" Abadi berucap sarkas. "Gue bukan lo, Ra! Gue bukan lo yang selalu dididik dengan kebaikan! Gue nggak seberuntung lo, Ra!"
Kiara merasa bersalah atas ucapannya beberapa saat yang lalu, mungkin ia telah menyinggung hati lelaki itu.
"Jangankan gue diajarin bersikap baik sama orang tua gue, dapat kasih sayang mereka aja gue belum pernah!" Nafas Abadi naik turun, wajahnya memerah, kedua matanya berair. Ia memang lemah ketika mendengar kata 'orang tua'.
"Bad, maaf, gue nggak bermaksud---"
Abadi memberikan kantong plastik yang berisi berbagai macam perlatan ibadah itu pada Kiara. "Ambil aja, gue nggak butuh." Setelah itu, ia pergi begitu saja.
❄
"Assalammu'alaikum." Kiara melangkah masuk ke dalam rumahnya dengan langkah gontai. Ia tidak heran dengan keadaan rumahnya yang sepi, karena beberapa menit yang lalu Adnan sudah mengirim pesan padanya bahwa mereka bertiga pergi ke Mall sebentar, karena sedari tadi Kaira merengek memita untuk berjalan-jalan ke Mall.
Ketika Kiara sampai ke kamarnya, ia langsung duduk di pinggir kasurnya. Ia kenghembuskan nafas panjang sambil menatap lama kantong plastik yang ada di pangkuannya.
"Maaf." Hanya kata itu yang mampu ia ucapkan. Gadis itu sangat merasa bersalah. Ia telah menyinggung perasaan Abadi dengan ucapan yang tentu saja melukai hati lelaki itu.
"Ah! Sial!" Kiara mengusap wajahnya gusar. Ia frustasi!
"Papa jangan kejal Kai! Hahaha nanti es klim Kai jatuh!"
"Papa, nanti Kaira jatuh. Tolong bantu Mama bawa belanjaan yang masih di mobil."
"Siap, Ma."
Kiara mendengar suara dari lantai bawah. Ia segera keluar dari kamarnya dan menuruni tangga dengan cepat.
"Kok pulangnya cepet, Ma?" tanya Kiara sambil membuka barang-barang belanjaan yang sudah diletalkkan di atas meja.
"Iya. Biar sholat dzuhurnya di sini," jawab Tiara yang turut juga mengecek barang belanjaannya.
"Ini Ma. Papa taruh di sini." Adnan menaruh sebuah kantong palstik besar di atas meja dengan sedikit kesusahan, karena Kaira menempel di punggunya. "Turun dulu Kai, nanti es krimnya kena baju Papa. 'Kan kasian Mama yang nyuci."
Kaira pun turun dari punggung Adnan, ia kemudian mendekat ke Tiara, melihat Mama-nya itu mengecek ulang barang belanjaannya.
"Kai beli es krim?" tanya Kiara, rupanya ia belum sadar akan sesuatu.
"Iya, Kai beli sepuluh es klim!" Kaira menatap Kiara tajam.
"Banyak banget Kai. Kak Kia minta satu ya," ucap Kiara memelas.
"Gak boleh! Kak Kia aja lupa sama janjinya!"
Kiara tampak berpikir sejenak, beberapa detik kemudian ia terkekeh kecil sambil menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. "Hehehe maaf ya Kai..."
Adnan tiba-tiba datang dari belakang. Ia mengelus gemas puncak kepala Kiara sambil berucap. "Kebiasaan."
Sontak tawa mereka pun pecah. Inilah keluarga mereka, keluarga kecil yang penuh dengan keharmonisan. Sangat berbeda dengan keluarga seorang lelaki yang sedari tadi masih Kiara pikirkan.
❄
Seorang gadis dengan balutan hijab di kepalanya hanya memasang wajah gelisah sambil berdiri di depan gerbang sekolah. Ia menggigit bibir bawahnya untuk menghilangkan rasa gelisahnya yang kian membludak. Pasalnya, Abadi yang sedari tadi ia tunggu belum juga datang, padahal upacara bendera akan segera dimulai beberapa menit lagi.
Ia terus melihat-lihat ke arah para siswa yang datang, tapi Kiara tak menemukan Abadi. Kiara menghela nafas pasrah, ia pun berbalik.
"Kiara."
Suara berat itu menghentikan langkahnya. Ia berbalik dan pandangan mereka bertemu. Lelaki di depannya seakan menghipnotis Kiara untuk segera memeluknya, tapi itu semua terhenti karena tiba-tiba tubuh lelaki itu ambruk di depannya.
"ABADI!" Kiara memekik keras.
Ia segera berjongkok dan berusaha menyadarkan Abadi. Tapi itu semua sia-sia karena lelaki berwajah pucat itu tetap setia memejamkan matanya. Lagi dan lagi, tidak ada yang mau menolong Abadi. Mereka hanya melewatinya dan tak acuh akan insiden jatuhnya Abadi.
Hingga akhirnya datang beberapa guru yang sedang memantau upacara bendera yang segera dimulai untuk menolong Abadi.
TBC.
HAIIIIIIIIIII🤗
Aku udah lama banget gak apdetttt wkwkwk maapinnn yaaawww😂 aku emang ngaret awokawokawok😂
Jangan lupa voment-nya gesss😚
Iluvu💜
Seeyou💚
KAMU SEDANG MEMBACA
Abadi [LENGKAP]
Teen FictionLembaran kisah Abadi, laki-laki rapuh yang berlagak paling kuat. WARNING!!! If you have entered into an ABADI story, then it is difficult for you to get out of this extraordinary story. (Jadi, sebelum membaca, siapin emosi aja dulu. Hehehe-,-) *Imag...