❄️
Malam sudah semakin larut, jarum jam di dinding ruangan itu menunjukkan pukul 22.30. Seorang karyawati masih sibuk akan tugasnya mengurus berkas-berkas kantor yang terlihat masih menumpuk di atas mejanya. Jari jemarinya dengan lihai menari-nari di atas papan ketik komputernya.
"Masih banyak ya?" tanya seorang laki-laki paruh baya yang mengenakan setelan jas lengkap.
Wanita yang sibuk dengan pekerjaannya itupun menghentikan aktivitasnya sejenak, mengangkat wajahnya menatap CEO perusahaan itu dengan tatapan tenangnya.
"Iya, Pak."
Tanpa mengucapkan sepatah katapun, CEO Andrajaya group itu pergi begitu saja dari hadapan Tiara-Karyawati sekaligus sekretaris dari Ferdimas Andrajaya.
Selang beberapa menit, Dimas kembali ke ruangan Tiara dengan secangkir kopi hitam hangat di tangannya.
"Supaya kamu tidak mengantuk," ucap Dimas setelah meletakkan cangkir itu di atas meja.
"Pak Dimas jangan repot-repot atuh," balas Tiara seperti tak enak karena bosnya telah membuatkannya kopi.
"Kamu mau minum kopi di sini atau di ruangan saya?"
"Di sini aja, Pak."
"Tapi saya mau kamu minum kopi ini di ruangan saya." Dimas kembali mengambil cangkir kopi itu. "Ayo," ajaknya dengan satu alis yang terangkat.
"Ma-maaf pak. Bukannya saya menolak, tapi sebaiknya saya tetap di sini aja."
Dengan satu tangannya yang tidak memegang cangkir, Dimas mematikan komputer yang membuat Tiara sibuk sedari tadi hanya dengan menekan satu tombol.
"Kerjaannya lanjut besok saja."
Tiara tak mengucapkan sepatah katapun. Ia masih meresapi apa yang sebenarnya terjadi untuk sekarang ini. Ia hanya melihat pantulan dirinya pada layar komputer yang telah mati.
"Ayo, minum kopi di ruangan saya."
❄️
Pagi hari yang cerah, tapi tidak secerah hati seorang wanita yang baru bangun dari tidurnya. Ia melihat bosnya yang tengah memakai kemejanya dan dirinya yang masih berbaring di kasur milik bosnya. Ia menatap bosnya dengan tatapan takut sambil memikirkan kembali kejadian yang ia lewatkan tadi malam.
Rupanya, setelah Tiara dipaksa meminum kopi di ruangan Dimas akhirnya Tiara mau. Setelah meminum satu teguk kopi itu, Tiara merasa ngantuk berat dan langsung terlelap. Setelah itu ia tidak tahu apa yang terjadi, ketika ia bangun ia sudah berada di tempat dan di situasi ini.
"Apakah kamu menikmatinya?" suara berat itu semakin membuat Tiara ketakutan. Ia menarik selimut itu ke atas, hampir menutupi wajahnya. Ia bahkan menggigit bibir bawahnya kuat-kuat.
"Aku menikmatinya semalam. Terima kasih."
Mendengar suara itu lagi, Tiara semakin sakit hati. Harga dirinya seperti tak ada harganya. Ia ingin bersuara, tetapi tenggorokannya seperti tercekat, lidahnya terasa berat dan kedua kakinya terasa sulit digerakkan, tanpa sadar buliran bening merembes dari matanya dan membasahi pipinya.
Dimas berbalik, menatap Tiara yang tengah ketakutan setengah mati. "Jangan bilang siapa-siapa, ini rahasia kita."
"Kalaupun kamu mau lapor polisi, itu tidak ada gunanya. Polisi, media, bahkan pemerintah pun takluk dengan uangku," lanjutnya.
Dimas maju beberapa langkah, menatap wanita itu dengan satu alisnya yang terangkat. "Aku akan memberimu uang, tenang saja."
"Ka-kamu pikir aku.. aku wanita murahan?" balas Tiara dengan suara yang putus-putus.
"Kalau iya?"
"Kamu.. laki-laki baj*ngan!" sarkasnya.
Dimas tak marah dicaci seperti itu, ia bahkan tertawa lepas. "Ha ha ha!"
"Sekarang kamu tinggal pilih. Kamu mau tetap di perusahaan ini dan aku akan memberimu uang sebanyak yang kamu mau, atau kamu pergi dari perusahaan ini?"
"Kamu...pikir aku akan... tetap di perusahaan ini dengan... Bos sampah sepertimu?"
Lelaki itu maju beberapa langkah dengan tatapan remehnya. "Di sini siapa yang sampah? Aku, bos kaya raya yang menghasilkan banyak uang. Atau kamu, seorang wanita bawahan yang menghabiskan malam dengan bosnya? Hei, sekarang kamu tidak ada bedanya dengan wanita jal*ng di luaran sana."
"Aaaaaarghhhhh!!!!" Tiara berteriak frustrasi. "Aku akan pergi dari perusahaan ini!!"
❄️
275 hari kemudian...
Seorang wanita tengah berdiri di depan sebuah rumah megah di suatu kota yang jauh dari kota metropolitan. Sambil menggendong anaknya, wanita itu meletakkan tas berisi perlengkapan bayi.
Sebelum meletakkan bayinya di dekat tas itu, Tiara mengecupnya berkali-kali. Ia bahkan mengucapkan kata-kata perpisahan untuk bayinya.
"Nak, kamu harus hidup bersama ayahmu supaya hidupmu terjamin. Mama nggak bisa rawat kamu, untuk beli susu saja mama masih kesulitan." Dengan air matanya yang mengalir, Tiara kembali mendaratkan kecupannya pada pipi bayinya yang halus.
Ia kemudian meletakkan bayinya, ia juga menyelipkan sebuah surat yang berisi pesan untuk Dimas dan keluarganya, juga berisi nama bayinya.
Abadi Gumilar Andrajaya.
Ia menambahkan nama belakang Dimas pada nama belakang bayinya, karena bagaimanapun bayi itu adalah bayi Dimas juga. Mau tak mau, Dimas harus menerimanya.
Suasana sore pada saat itu menambah kesan mengharukan, karena sesungguhnya tidak ada seorang ibu yang tega meninggalkan anaknya di tempat lain. Tiara melakukan itu karena kondisi ekonominya yang tidak memungkinkan untuk menunjang hidup Abadi. Ia menyerahkan Abadi pada Dimas supaya hidup Abadi lebih terjamin, supaya masa depannya lebih cerah.
Tiara tidak langsung pergi, ia mengintip di balik pohon untuk menjaga keamanan bayinya supaya tidak diambil oleh orang yang lewat di jalan itu.
Selang beberapa menit, seorang wanita tua keluar dari rumah besar itu dengan membawa satu plastik sampah. Ia membuang sampah tidak jauh dari tempat Tiara meletakkan Abadi. Atensi Ningsih, wanita yang membuang sampah barusan pun teralihkan. Ia berjalan mendekat ke arah bayi itu. Tiara dapat melihat ekspresi Ningsih yang terkejut, dan lebih terkejut lagi ketika Ningsih membuka surat itu dan membacanya.
Ningsih langsung membawa bayi itu juga tas yang Tiara tinggalkan ke dalam rumah. Setelah memastikan anaknya telah aman, Tiara segera pulang dengan air mata yang tidak berhenti menetes.
Di lain sisi, Hana tengah marah besar pada suaminya. Dimas telah berkeluarga dan memiliki satu orang putra yang baru berusia satu tahun.
Dimas awalnya tidak mau menerima bayi itu, tapi karena bujukan dari Ningsih yang juga mengancam akan mencabut hak waris perusahaan jika tidak membiarkan Abadi menetap bersama mereka.
"Sampai kapanpun Abadi harus tetap tinggal sama kamu, Dimas. Abadi anakmu, darah dagingmu! Jika ibu tiada nanti, kamu tidak boleh mengusirnya! Ini amanah dari Ibu yang harus kamu pegang kuat-kuat," ucap Ningsih.
Setelah lima tahun, Ningsih meninggal dunia. Dimas dan keluarganya juga pindah ke Jakarta karena pusat dari perusahaannya telah pindah ke kota Jakarta. Awalnya Dimas ingin meninggalkan Abadi di rumah lamanya, tapi ketika ia mengingat pesan dari ibunya, ia akhirnya mengizinkan Abadi untuk tinggal bersamanya.
❄️
TBC.
Haii guys!
Aku update lagii hehee. Maaf yaa udah lama bangeet ga update, soalnya kadang belom ada mood nulis dan gaada paket internet juga siih hehe^^
Iluvu guys💜
Seeyou💚
KAMU SEDANG MEMBACA
Abadi [LENGKAP]
Teen FictionLembaran kisah Abadi, laki-laki rapuh yang berlagak paling kuat. WARNING!!! If you have entered into an ABADI story, then it is difficult for you to get out of this extraordinary story. (Jadi, sebelum membaca, siapin emosi aja dulu. Hehehe-,-) *Imag...