XXXIV

1.6K 76 2
                                    

"Gue bakal bikin perhitungan sama Asta!" Ben mengatakan itu di depan Licia dengan kedua tangannya yang mengepal erat serta rahangnya yang mengeras. Giginya saling beradu. Matanya berkilat tajam. Ia benar-benar marah setelah mengetahui apa yang Asta lakukan pada Licia selama beberapa hari ini. Dia pun segera pergi tanpa menunggu kometar apapun dari Licia. Sepertinya Ben akan benar-benar merealisasikan ucapannya itu.

Sepeninggal Ben, pintu kamar inap Licia kembali terbuka. Muncul Meg dengan wajahnya yang tampak khawatir sekaligus sendu.

*

Ben yang biasanya datang terlambat ke sekolah, kali ini datang lebih pagi. Tujuannya bukan lain untuk menghadang Asta yang hingga hari kemarin masih belum menunjukkan dirinya di sekolah. Ben yakin, hari ini Asta pasti akan datang ke sekolah karena Ben sudah mengirim pesan provokasi padanya.

Cukup lama Ben menanti kedatangan Asta sampai akhirnya Asta benar-benar datang dengan menggunakan mobil yang berbeda dari mobil yang Asta gunakan untuk menabrak Ben tempo lalu.

Segera Ben menghampiri Asta. Ia yang sudah sangat ingin membalas perbuatan Asta pada Licia sudah tidak bisa menahan dirinya. Tanpa ampun, Ben langsung menghajar Asta yang baru keluar dari mobilnya. Ditariknya kerah baju Asta bersamaan dengan tubuh Asta yang didorong ke belakang hingga membentur body mobilnya. "Bukan lo yang mau bunuh gue, tapi gue yang mau bunuh lo!" desis Ben penuh emosi.

Asta yang berdarah ujung bibirnya akibat dihajar oleh Ben tadi, hanya menatap Ben dengan sorot datar. Tak ada emosi seperti biasanya. Tak ada kemarahan seperti biasanya. Benar-benar datar. Hal ini membuat Ben merasa terganggu.

"GUE BAKAL BUNUH LO, LO DENGER?!" Ben berteriak tepat di depan wajah Asta. Ben kesal karena tanggapan Asta yang terlalu datar.

Asta menghembuskan nafasnya dengan pelan sambil menarik tangan Ben agar terlepas dari kerah bajunya. Sungguh, yang dilakukan Asta kali ini benar-benar bukan seperti Asta yang Ben kenal. Asta yang Ben kenal tidak sekalem ini. Asta yang ia kenal adalah Asta yang temperamen dan bar-bar. Terlebih ucapan yang kemudian keluar dari mulut Asta, benar-benar membuat Ben melebarkan matanya tidak percaya. "Mulai sekarang, urusan lo dan urusan Cia bukan lagi urusan gue."

*

Kembalinya Asta ke sekolah langsung menjadi trending topic hari itu juga. Terlebih dengan keadaannya yang sepertinya baik-baik saja. Tak ada kegilaan yang sebelumnya banyak orang prediksikan. Malah Asta terkesan terlalu santai. Mengobrol bersama keempat temannya dengan menunjukkan ekspresi yang beragam. Mulai ekspresi malas mendengar omong kosong Rich, ekspresi bosan ketika mendengar ceramah Oscar, ekspresi kesal ketika berdebat kecil dengan Ilo dan ekspresi kecut ketika Lanang berbicara padanya.

"Hai, Ta!" sapa Mera dengan gaya centilnya menghampiri meja tempat Asta dan yang lain berkumpul di kantin. Mera tidak sendiri. Dia bersama dua temannya yang selalu setia mengikutinya.

"Ya elah si lo—" Ucapan Rich segera Oscar potong. Oscar tidak mau mendengar perkataan sekotor itu dari mulut Rich.

"Lo makin ganteng aja setelah lama nggak keliatan." Cewek itu mulai memainkan kancing bajunya yang saling menarik.

Asta yang malas meladeni Mera hanya membuang muka sambil menenggak minumannya.

"Bisa pergi aja nggak?" usir Lanang yang risi dengan kehadiran cewek itu.

"Ih, Lanang. Galak amat. Gue kan belum selese. Gue masih mau tanya-tanya sama Asta."

"Ya udah, cepet!" seru Ilo yang sama halnya Lanang.

Mera tersenyum menggoda. "Jadi, lo udah beneran putus sama Cia?"

Gigi Rich saling beradu. Sampai detik ini, ia dan yang lain sudah sepakat untuk tidak menyebut nama itu di depan Asta. Tetapi cewek ini secara terang-terangan malah mengucapkannya. "Lo minta gue getok?!"

Mera mengerutkan keningnya. Tidak terima. "Kenapa emangnya? Bukan cuma gue aja kok yang kepo. Gue yakin, semua orang juga kepo sama kelanjutan hubungan lo sama si Cia itu. Masih lanjut atau beneran udah bubar? Ya kalo misal beneran bubar kan, siapa tau gue ada peluang. Iya nggak, Ta?"

Barulah Asta menoleh pada Mera. Menatapnya dengan sorot tidak suka. "Pergi!"

Wajah Mera yang semula tersenyum penuh menggoda, berubah seketika menjadi wajah kekecewaan karena Asta yang mengusirnya. "Oke, gue pergi. Tapi yang tadi, tolong lo pikirin lagi ya?" sebelum Mera benar-benar pergi, ia sempat mengedipkan satu matanya nakal pada Asta.

"Tuh anak nggak punya kesadaran apa gimana sih? Tau ditolak, tapi pantang mundur. Salut sih sebenernya. Cuma sayang udah lepas segel, jadi batal salut." Decak Rich sepeninggal Mera.

"Anu, Ta. Kemaren lo bilang, ada orang yang pengen lo temuin. Siapa, Ta?" pertanyaan Oscar selanjutnya mengalihkan topik pembicaraan mereka tentang Mera, juga sekaligus membuat teman-temannya penasaran.

*

Asta mengetuk-etukkan jari telunjuknya ke setir, mengikuti irama musik yang sedang ia dengarkan di dalam mobil. Sekolah sudah bubar sejak 15 menit yang lalu. Sekolah juga sudah mulai sepi, tempat parkir yang hampir penuh terisi kendaraan sudah mulai terlihat longgar dan lengang. Akan tetapi, Asta masih berada di sini. Menunggu kemunculan seseorang.

Tidak pernah Asta duga bahwa menunggu seseorang itu rupanya bisa selama ini dan membuatnya kesal. Asta adalah tipikal orang yang selalu on time apabila janjian. Itu sebabnya, Asta paling kesal jika harus menunggu. Tetapi karena ini ia lakukan sendiri tanpa ada janjian terlebih dulu, Asta tidak bisa protes. Yang bisa ia lakukan hanya memutuskan untuk tetap menunggu atau pergi saja sekarang.

Satu hingga tiga menit berlalu begitu saja tanpa adanya tanda-tanda kemunculan orang yang ia tunggu. Asta berdecak makin kesal. Ia pun bersiap menyalakan mesin mobil. Tepat sebelum mobilnya bergerak, akhirnya ia melihat seseorang yang sudah sedari tadi ia tunggu. Dengan cepat ia matikan kembali mesin mobil, lalu keluar dan menghampiri orang itu.

Grab!!

Kaia kaget ketika ia mencoba membuka pintu mobilnya, tiba-tiba ada sebuah tangan dari arah belakang, menahan pintu mobil yang akhirnya membuat Kaia tidak bisa membuka mobilnya. Kaia menengadah ke atas, memperhatikan tangan panjang yang sedang menahan pintu mobilnya.

Tepat di atas wajahnya, ia melihat wajah Asta tengah menatapnya. Cepat-cepat Kaia menundukkan wajahnya sambil menelan ludahnya sendiri dengan susah payah. Pegangan di ranselnya terasa kian mengerat. Mendadak Kaia merasakan aura tidak enak. Sepertinya hal buruk akan segera terjadi padanya.

"Kok lo disini?" tanya Kaia mengawali dialognya dengan Asta. Posisinya masih berdiri memunggungi Asta. Kaia tidak berani membalikkan badannya untuk berhadapan dengan Asta. Takut kalau cowok itu akan mencekik lehernya seperti ia mencekik leher Licia. Hanya dengan mengingat itu saja, bulu kuduk Kaia langsung meremang. Untuk itu Kaia mengelus tengkuknya.

Tak ada jawaban, tak ada suara. Kaia jadi bingung sekaligus penasaran. Apakah Asta masih berdiri di belakangnya atau jangan-jangan sudah pergi.

"Thanks."

Eh? Kaia terkejut. Karena selain masih ada Asta di belakangnya, Asta juga mengucapkan hal yang tak terduga.

"Lo selalu memenuhi harapan gue buat jadi support system gue."

Kembali Kaia terkejut mendengar ucapan Asta selanjutnya.

"Tolong jangan pernah pergi ninggalin gue." lanjut Asta seraya mengikis jarak antara dirinya dan Kaia.

Inilah puncak keterkejutan Kaia. Dimana cowok itu tiba-tiba memeluknya dari belakang, memejamkan matanya, serta menenggelamkan wajahnya di antara leher dan bahu Kaia yang kecil.

ALASTAIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang