XXXVII

1.5K 67 8
                                    

"Lo nggak perlu dengerin omongan mereka, Ci. Oke?" pesan Meg sebelum meninggalkan Licia di kelasnya. Sejujurnya, Meg tidak tega meninggalkan temannya itu di kelasnya sendiri. Sebab, di kelas itu tidak ada yang namanya teman, yang ada hanyalah perundung.

Licia mengangguk dengan berat hati. Kalau boleh, Licia ingin tetap bersama dengan Meg saja. Tetapi jelas itu tidak mungkin dilakukan. Dengan cukup sedih dan khawatir, dia pun harus rela melihat teman terbaiknya itu pergi dari kelasnya.

Di saat inilah Licia mulai merasakan hawa yang tidak enak. Licia tau, dirinya sedang ditatap banyak pasang mata oleh teman-teman sekelasnya. Alih-alih menyibukkan diri agar tidak terlalu fokus pada mereka, Licia membuka bukunya sambil mendengarkan musik melalui earphone miliknya sambil berharap waktu cepat berlalu.

Waktu istirahat pun tiba. Sebelum yang lain keluar, Licia keluar dari kelasnya lebih dulu. Ia sudah janjian dengan Meg akan menghabiskan waktu istirahat bersama. Yang jelas bukan di kantin karena tempat itu pasti ramai dan kemungkinan untuk bertemu dengan Ben atau Asta sangat besar. Untuk itu, mereka habiskan waktu istirahat mereka di taman. Tepatnya di gazebo.

Meg membawa bekal yang cukup banyak, lalu meletakkannya di alas gazebo. Ya, semacam piknik kecil-kecilan. "Ini buat lo. Ini buat gue."

Melihat kepedulian serta kebaikan Meg, membuat Licia terharu. "Meg, kenapa lo masih baik sama gue? Padahal gue udah jahat sama lo." Rintih Licia ingin menangis.

"Karena lo temen gue, Ci." Meg tersenyum hangat. Berusaha menenangkan temannya. "Udah, dimakan." Perintah Meg kemudian tidak mau ikut larut dalam suasana haru Licia.

"Makasih, Meg. Gue bener-bener bersyukur punya temen sebaik lo." Lanjut Licia.

"Udah, ah. Dimakan, ntar kalo dingin nggak enak loh."

Setelah menghabiskan makannya, Meg dan Licia tidak langsung beranjak dari tempat itu. Mereka duduk-duduk santai terlebih dulu sambil memperhatikan sekitaran mereka yang tidak terlalu ramai, tapi juga tidak sepi-sepi amat. Seperti yang sudah pernah dijelaskan, tempat ini lebih sering digunakan untuk tempat pacaran. Jadi memang kurang enak untuk nongkrong ramai-ramai. Lihat saja, selain gazebo tempat mereka berdua berada, yang lain terisi oleh pasangan-pasangan di SMA Soebroto ini. Beberapa juga ada yang duduk di kursi taman yang dicat putih.

Karena tak ada pembicaraan apapun, Meg melirik Licia yang matanya terus tertuju pada sepasang kekasih yang sedang duduk di kursi putih. Meg ikut menoleh ke arah tersebut. "Cia," panggil Meg namun Licia tidak mendengar. Meg sampai harus mengulanginya, "Licia."

Barulah Licia menoleh padanya.

"Lo nggak papa?" tanya Meg khawatir.

Licia menggelengkan kepalanya sembari tersenyum singkat.

"Yakin?" tanya Meg tidak yakin.

Kali ini Licia tidak menjawab. Gadis itu hanya menengadah, melihat langit biru yang terhalang dedaunan yang rindang. Dihirupnya nafas yang panjang selagi ia memejamkan kedua matanya. "Akhirnya gue bisa ngerasain kebebasan lagi, Meg." Gumamnya.

Harusnya Meg senang melihat sahabatnya seperti itu. Tetapi senyum di wajah Licia yang disertai dengan air matanya yang menetes dari matanya, membuat Meg sedih sekaligus khawatir. Meskipun Licia mengatakannya sendiri dirinya telah bebas, entah kenapa Meg tidak melihat wajah kebahagiaan yang harusnya tergambar di wajah Licia. Yang ia lihat justru wajah sendu.

Suara bel yang menggema di seluruh antero sekolah, membuat kedua orang itu terpaksa harus menyudahi ketenangannya. Untuk Licia, mungkin akan berganti dengan ketegangan. Tadi ketika di kelas, Licia sempat berpikir, 'andai saja Asta masih di sisinya, mungkin dia tidak akan merasakan hal ini'. Akan tetapi, Licia segera membuang jauh-jauh pikiran itu. Bagaimana dirinya masih bisa kepikiran dengan cowok yang sudah menabrak dan menyekapnya berhari-hari?

ALASTAIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang