LIII

1.2K 57 6
                                    

"Kaia!"

Suasana yang mendebarkan seketika berubah menjadi suasana paling mencekam ketika orang yang sangat tidak disangka muncul dengan riang sambil memanggil nama satu-satunya perempuan yang ada di tempat itu.

Tepat pukul 19.40 di kediaman Kalandra, Asta dan Alta yang bertahun-tahun berpisah akhirnya bertemu dengan Kaia sebagai saksinya.

Satu kata yang siap keluar dari mulut Asta teredam begitu saja, lalu menguap. Bersamaan dengan luruhnya genggaman tangan yang ia sematkan di tangan Kaia.

"Kak... Asta..." ucap Alta pelan dan terbata. Itu adalah kalimat pertama yang terdengar setelah keheningan mendominasi ruangan itu dalam beberapa menit. Wajah Alta yang riang karena sudah terbayang bisa bertemu dengan Kaia, dalam sekejap lenyap. Wajahnya jadi pucat, tegang.

Asta tak berkata-kata. Semua perhatian yang semula hanya ia tujukan pada Kaia, sekarang sepenuhnya beralih pada seorang anak laki-laki yang lebih pendek darinya, yang menatapnya tanpa kedip.

Sementara Kaia adalah orang yang paling bingung sekaligus paling tidak mengerti harus berbuat apa untuk kakak beradik yang saling bertatap muka dalam moment yang bisa dibilang tidak tepat. Tidak seperti ini seharusnya Asta dan Alta bertemu! Mereka seharusnya bisa bertemu dalam kondisi yang lebih baik dan tidak ketika Asta hendak mengucapkan kalimat krusial. "A-Asta..."

"Ini apa?" suara Asta terdengar, memutus kalimat yang hendak Kaia ucapkan. Sangat berbeda dengan suara yang sebelumnya Kaia dengar. Suara Asta kali ini terdengan sangat dingin. Bahkan cowok itu tidak menoleh padanya padahal jelas pertanyaan itu Asta tujukan untuk Kaia.

Kaia tidak bisa menjawab. Otaknya buntu karena pertemuan yang terlalu mendadak ini.

"Ini apa, Kaia?!" baru cowok itu menoleh pada Kaia. Kembali bertanya dengan lebih dingin dari sebelumnya. Tak hanya suaranya, tatapannya juga ikutan dingin.

"I-ini..." Kaia kesulitan memilih kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan Asta.

"Lo tau siapa anak ini?" Asta kembali bertanya selagi pertanyaannya belum Kaia jawab. Tangan Asta menunjuk tepat ke arah Alta yang masih terdiam membeku.

Kaia ikut melirik pada Alta yang sama sekali tidak menatap dirinya. Seluruh perhatian Alta hanya tertuju pada Asta. "A-Alta..." jawab Kaia pelan dan lirih sekaligus hati-hati.

"GUE TANYA, LO TAU SIAPA ANAK INI?!" bentak Asta tidak main-main sampai Kaia kaget. Kedua mata Asta nyalang. Menghujam tajam tepat ke mata Kaia.

"Di-dia..."

Karena tak kunjung dijawab oleh Kaia, Asta makin marah. "Apa maksud semua ini? Kenapa bisa begini? Apa lo udah tau?" Asta sudah tidak membentak Kaia lagi. Tetapi desisannya ini malah membuat cowok itu makin menakutkan.

Melihat Kaia yang terus ditekan dan dicecar oleh kakaknya sendiri, membuat Alta tidak bisa tinggal diam. Dengan pelan dan hati-hati, Alta memberanikan diri mendekati Asta, "K-kak... A-aku... Aku bisa jel—"

Asta mengibas tangannya dan mengenai Alta sehingga membuat Alta terhempas dan membentur sisi meja sebelum akhirnya terjatuh di lantai.

"Alta!" Kaia yang kaget dengan perlakuan Asta terhadap Alta, segera menghampiri Alta yang pelipisnya berdarah karena benturan di meja tadi. Kaia khawatir dengan kondisi Alta. Karena selain terluka, Kaia juga takut penyakit Alta akan kambuh.

"Gue nggak papa..." kata Alta lemah.

Kaia meringis. Meringis ngilu melihat darah Alta, sekaligus meringis kesal karena ulah Asta. Kaia pun mendongak, menatap wajah Asta dengan menghilangkan semua rasa takut yang sejak tadi hinggap padanya. "Apa begini cara lo nyapa adik lo sendiri setelah bertahun-tahun nggak ketemu?"

ALASTAIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang