XXVI

1.7K 73 7
                                    

Mama Licia kaget bukan main, sampai tidak bisa berkata-kata melihat Asta yang berdiri di depan pintu rumahnya dengan penampilan yang kontras dengan penampilan Asta yang biasanya. Asta yang berwajah putih mulus tanpa jerawat atau komedo, kali ini terpaksa harus memperlihatkan wajah lebam dan penuh lukanya. Ada di ujung bibir, di tulang pipi, di pelipis, bahkan tulang hidungnya juga. "Kamu kenapa Asta? Kenapa muka kamu seperti ini?" tanya mama Licia sambil berusaha menyentuh wajah Asta.

Asta segera menghindar, tidak ingin mama Licia menyentuh wajahnya. Hanya gelengan kepala yang Asta tunjukan untuk menjawab pertanyaan wanita paruh baya yang sudah mengenalnya itu. "Cia mana, Tan?" tanyanya kemudian.

"Cia sudah berangkat belum lama. Apa Cia nggak bilang sama kamu dulu?"

Asta menggigit bibirnya, berusaha menaha emosi di depan wanita paruh baya ini. "Kalo gitu saya permisi, Tan." Asta segera menganggukkan kepalanya, lalu segera kembali ke mobilnya. Meninggalkan rumah Licia dengan mengendarai mobilnya gila-gilaan.

Tak sampai 20 menit, Asta sudah tiba di sekolah. Kehadirannya setelah malam prom tentu sangat ditunggu-tunggu oleh banyak orang. Banyak orang menduga-duga apa yang akan Asta lakukan pada Ben dan Licia.

Langkah Asta menuntunnya untuk memasuki kelas 12 Bahasa 3. Di sana, ia menemukan orang yang ia cari. Licia. Lengkap sedang bersama Ben.

Melihat Asta berdiri tak jauh dari hadapannya dengan wajah amat sangat menyeramkan, membuat bulu kuduk Licia meremang. Ia tau, pasti akan ada badai yang terjadi. Untuk itu, Licia cepat-cepat bersembunyi di balik tubuh Ben.

Hanya dengan melihat Licia bertingkah seperti itu di depan matanya, emosi Asta makin menjadi. Segera ia memukul perut Ben hingga membuat Ben terbatuk-batuk dan Licia otomatis menjerit kaget sekaligus takut.

"Tenaga banteng lo ya?" desis Ben segera membalas pukulan Asta.

"Lo semalem kabur!" ucap Asta dengan giginya yang saling beradu dan tak lupa mengumpat kasar. Sekali lagi, ia memukul Ben. Kali ini tepat di wajahnya.

Ben meregangkan otot sekitar mulutnya yang terasa kaku akibat pukulan Asta barusan. Darah yang keluar dari ujung bibirnya segera ia lap menggunakan punggung tangannya. Melihat dirinya kembali berdarah, Ben malah menyeringai. "Sebenernya gue seneng-seneng aja ngeladenin lo berantem. Cuma kalo gue pikir-pikir, apa sih faedahnya? Apa kalo lo berhasil ngalahin gue, ups, maksud gue, apa kalo lo berhasil bunuh gue, terus lo pikir Cia mau balik sama lo?"

Mata Asta yang nyalang segera tertuju pada Licia. Sontak Licia terkesiap, tidak siap dengan situasi saat ini. Licia segera menatap Ben, berusaha mengirim sinyal bantuan atas apa yang Ben lontarkan pada Asta. Sayangnya Ben tidak memberikan bantuan apapun. Cowok itu hanya menyeringai, membiarkan Licia mengatasi sendiri. Licia mengeratkan tangannya yang terkepal. Gadis itu sedang berusaha mengumpulkan keberanian untuk berhadapan dengan Asta sekali lagi. "Gue nggak mau balik sama lo." kata Licia dengan suara yang sedikit bergetar. Gadis itu bahkan berani menatap wajah Asta secara terang-terangan.

Pelan tapi pasti, Asta mulai melangkah mendekati Licia.

Secara tidak sadar, Licia memundurkan langkahnya ketika Asta makin mendekatinya, hingga akhirnya tubuhnya sudah menyentuh meja yang ada di belakangnya. Tanda ia sudah tidak bisa mundur lagi.

"Sejak kapan gue butuh persetujuan lo buat nentuin kemauan gue?" tanya Asta dengan suara yang mengerikan. Cowok itu kini benar-benar sudah berada tepat di depan Licia.

Tubuh Licia gemetaran. Ia melirik Ben. Kesal karena Ben membiarkannya berada dalam situasi mengerikan ini.

Asta mendekatkan wajahnya ke wajah Licia yang sekarang sudah tidak berani menatapnya. "Cuma gue yang bisa nentuin. Lo nggak."

ALASTAIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang