XLVI

1.3K 68 4
                                    

Pukul 9 malam tepat, Kaia baru keluar dari kamar Rion. Kondisi Rion sudah lebih tenang dan sudah mulai mau menerima kenyataan bahwa hubungannya dengan Oscar telah benar-benar berakhir.

Jadi, ketika Rion menjenguk Oscar tadi siang, Rion masuk sendiri ke kamar Oscar. Sedangkan kakak Rion, menunggunya di mobil. Sebelumnya Rion memang sudah menyinggung jikalau dirinya dan Oscar mungkin saja bisa putus setelah acara makan malam waktu itu. Namun sama sekali tidak pernah Rion duga kalau akan secepat itu.

"Thanks, Kai. Kalo nggak ada lo, gue nggak tau harus gimana. Mana nyokap bokap pada nggak di rumah." Ucap Sirius, kakak Rion satu-satunya.

"Pokoknya Bang Rius kudu jagain Rion terus ya? Jangan kemana-mana kalo bisa. Kalo aja gue nggak ninggalin papa di rumah, pasti gue nginep disini deh." Kaia yang hendak pulang merasakan berat di kakinya untuk melangkah. Ia masih khawatir dengan kondisi Rion yang benar-benar down.

"Oke, Kai. Gue bakal jagain adek gue." sahut Sirius cepat.

"Oh iya, kalo ada apa-apa, langsung hubungin gue ya, Bang. HP gue on 24 jam kok."

Sirius jadi tersenyum sedikit, "Iya, Kaia. Ya udah, sana lo pulang. Hati-hati di jalan ya?"

*

Beberapa jam sebelumnya, di kamar inap Oscar.

"Kalian beneran bubar?" tanya Asta ingin memastikan sendiri secara langsung pada Oscar. Selama beberapa hari ini ia hanya mendengar dari ketiga sahabatnya.

Pertanyaan itu hanya dibalas dengan sebuah anggukan kepala.

"Apa lo nggak masalah?" tanya Asta lagi.

Kali ini Oscar terdiam. Cowok itu hanya terdiam, menunduk sambil mengepalkan kedua tangannya erat.

"Oscar nggak kayak lo, yang suka maksain keadaan." Sindir Ilo.

Asta hanya melirik cowok imut yang bahkan belum pernah pacaran sekalipun.

"Asta bener, apa lo nggak masalah? Kalo iya, berarti lo harus bahagia setelah ini. Tapi kalo enggak, lo masih berhak buat berjuang." Imbuh Lanang sepemikiran dengan Asta.

Ilo menatap Lanang dengan cengo. Tidak percaya Lanang akan lebih mendukung Asta daripada dirinya.

Oscar menggelengkan kepalanya. Seumur hidupnya selama nyaris 18 tahun, sekalipun Oscar tak pernah menentang perintah kedua orang tuanya. Oscar tidak bisa melakukannya. Oscar tak punya daya dan keberanian untuk melakukannya.

Sok bersimpati, Rich menggeleng-gelengkan kepala sambil menepuk bahu Oscar, "Lo kan temenan sama Alastair udah lama nih. Coba deh, lo ikutin tuh apa yang udah pernah dia lakuin dalam mempertahankan seorang Cia meskipun akhirnya gagal juga. Paling nggak, lo bisa liat kayak apa effort seorang cowok yang memperjuangkan ceweknya di diri Alastair."

"Oi, Asta bukannya lagi berjuang. Lagi khilaf." Ralat Ilo.

"Tai banget lo, nyet! Serah gue lah mau ngomong apa! Lagi lo sok elite banget kalo udah ngomentarin permasalahan Asta."

"Bukan sok elite! Emang gitu faktanya!"

"Iya, iya, bang jago! Lo yang paling bener pokoknya! Paling elite." Rich mengibas tangannya di depan Ilo dan segera melempar matanya pada Asta, "Oi, Ta. Lo nggak ada niat mau mutilasi nih anak apa gimana nih? Biar gue bantu deh."

"Kalian berdua kalo mau berantem, keluar!" seru Lanang kesal. Rich dan Ilo otomatis diam seketika. Selama ini, jarang sekali mereka melihat seorang Lanang kesal seperti ini karena ulah mereka berdua.

ALASTAIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang