Kedua mata Kaia mengerjap. Mencoba mengenali kamar yang menurutnya asing. Ah, mungkin ini masih di alam mimpi. Kaia berujar dalam hati sembari kembali menutup mata, berharapan ketika terbuka nanti, ia sudah bangun di kamarnya.
Mata Kaia kembali terbuka, namun tidak ada yang berbeda. Kamar itu masih tetap asing. Perasaannya mulai tidak enak hingga tanpa sadar bibir bawahnya dia gigit. Meskipun samar, sepertinya Kaia pernah melihat kamar ini sebelumnya. Kamar mewah dengan nuansa serba hitam. Lantai, dinding, langit-langit, perabot, bed cover, semuanya serba hitam.
"Udah bangun?"
Mata Kaia membelalak maksimal mendengar suara itu, tubuhnya tidak mampu bergerak.
Sang pemilik kamar itu berjalan mendekat, lalu berdiri di samping ranjang tempat Kaia terbaring saat ini. Memperhatikan gadis itu dengan seksama.
Mulut Kaia terbuka, siap berkata-kata. Namun suaranya tercekat dan menyangkut di tenggorokan. "K-ke—" Kaia buru-buru menutupi matanya dengan tangan begitu sang pemilik kamar membuka tirai hitam di kamar itu hingga cahaya matahari pagi menjelang siang segera menyeruak masuk.
"Cepet mandi. Dekil banget lo." Dengus Asta sambil melempar selembar handuk ke wajah Kaia.
Saat itulah Kaia akhirnya terbangun. Ketika kakinya ia coba untuk dijejakkan ke lantai, tubuhnya terhuyung. Kalau tidak cepat berpegangan pada bed cover ranjang, bisa dipastikan Kaia akan jatuh. Kaia pun diam sejenak sambil memijit kepalanya yang terasa berat. "Gue—"
"Baju gue ada di sana." Potong Asta sambil menunjuk walk in closet. Setelah mengatakan itu, Asta keluar dari kamar. Meninggalkan Kaia sendirian seperti orang kebingungan.
Masih memijit kepala, Kaia memperhatikan tubuhnya sendiri yang kata Asta dekil. Benar sih, sudah berganti hari tetapi Kaia masih mengenakan seragam sekolah yang kemarin ia pakai. Tak hanya itu, Kaia juga mencium aroma di bajunya. Bukan aroma bau badan, melainkan aroma alkohol. Pikiran Kaia segera berputar. Berusaha mengingat apa yang sebenarnya terjadi di tengah kondisi kepalanya yang masih berat.
*
Dengan menggunakan shower air dingin yang menyiram seluruh tubuhnya dari ujung kepala hingga kaki, Kaia menggosok kulitnya cukup keras. Kaia sudah berhasil mengingat apa yang menimpanya kemarin. Ia diculik oleh gerombolan Mera, lalu dibawa ke tempat hiburan malam, dicekoki alkohol sampai mabuk, lalu ditinggalkan begitu saja bersama dua cowok hidung belang. Setelah itu, Kaia sudah tak dapat lagi mengingat apapun. Namun dengan keberadaannya sekarang di rumah Asta, artinya Asta telah menolongnya.
*
Asta mendengus, nyaris kehilangan kesabaran menunggu Kaia yang tak kunjung turun dari kamarnya. Padahal sudah 1 jam berlalu. Apa Kaia nyasar di rumahnya? Atau jangan-jangan Kaia belum sepenuhnya sadar, lalu ia tertidur ketika sedang mandi? Jika yang terakhir itu benar, maka Asta harus cepat-cepat kembali naik ke atas. Baru mau beranjak dari duduknya, gadis yang sedang ia tunggu akhirnya terlihat menuruni tangga sambil menundukkan kepala.
Asta terdiam memperhatikan gadis yang baru selesai mandi itu tanpa kedip. Masalahnya, baju yang Kaia kenakan itu adalah bajunya. Hoodie warna abu-abu yang kebesaran bahkan nyaris selutut Kaia, lalu celana training yang juga kedodoran sampai Kaia harus menggulungnya di atas mata kaki seperti orang mau menyeberang sungai. Hanya satu kata 'imut' yang bisa Asta gunakan untuk menggambarkan Kaia saat ini.
"Lo raksasa apa titan sih, baju lo nggak ada yang muat sama gue." keluh Kaia begitu sampai di depan Asta. Gadis itu masih menunduk malu sambil memainkan hoodie Asta yang kebesaran.
"Duduk." Perintah Asta tanpa memedulikan keluhan Kaia.
Kaia menurut duduk di samping Asta, tetapi Asta malah beranjak. Refleks Kaia bertanya, "Mau kemana?"
Cowok itu tidak menjawab, hanya pergi begitu saja.
Tak lama kemudian, Asta kembali lalu duduk di sebelah Kaia. Cukup dekat hingga membuat Kaia otomatis bergeser. Kaia terlalu malu untuk duduk sedekat itu dengan Asta.
Melihat Kaia menjauh, Asta berdecak. Kembali ia dekati gadis itu seraya menahan satu bahu Kaia hingga nyaris membuat Kaia menjerit. "Ngadep sana." Perintah Asta lagi meminta Kaia untuk memunggunginya. Suara mesin hairdryer segera mendominasi ketika Asta mulai mengeringkan rambut Kaia yang basah karena keramas.
"Ta," Kaia lebih dulu membuka obrolan.
"Hm?"
"Makasih, lo udah nolongin gue."
Mendengar ucapan Kaia, tiba-tiba Asta berhenti mengeringkan rambut Kaia. Hal itu membuat Kaia heran sekaligus bertanya-tanya. Dengan pelan, Kaia menoleh ke belakang.
"Bukan gue yang nolong lo." Kata Asta tanpa menatap wajah Kaia. Cowok itu menatap ke arah lain.
"Bukan lo?" kening Kaia mengerut.
Asta hanya mengangguk.
"Siapa?"
"Faolan." Meski sebenarnya tidak ingin, namun Asta tetap mengatakannya. Terselip nada tidak suka dari suara Asta.
Kaia menaikkan kedua alisnya.
"Menyedihkan." Kata Asta sambil menundukkan kepala.
Kaia memutar tubuh, mengubah posisi duduknya hingga berhadapan dengan Asta. "Maksud lo?"
"Gue bilang gue bakal jagain lo. Tapi nyatanya gue nggak bisa."
Kaia diam, memperhatikan cowok yang masih menundukkan kepalanya.
Satu ujung bibir Asta terangkat. Ia tersenyum sinis untuk dirinya sendiri, "Sekarang gue nggak cuma gagal jadi kakak buat Alta. Gue juga udah gagal jadi cowok buat lo."
Kedua mata Kaia melebar. Dari gestur serta kata-kata Asta, kelihatan sekali kalau cowok itu benar-benar menyesal. Kaia merasa terkejut sekaligus terkesan, Asta bisa jadi seperti ini hanya karena tidak bisa menolongnya semalam.
"Gu—"
"Ta," perkataan yang baru akan kembali terucap dari bibir Asta terpotong oleh ucapan Kaia serta tindakannya. Entah darimana Kaia mendapatkan kekuatan untuk berani menyentuh kedua pipi Asta lalu menuntunnya dengan lembut agar Asta berhenti menunduk, lalu menatapnya.
Asta sampai tidak bisa berkata-kata.
"Lo nggak gagal, Ta. Lo kakak yang keren buat Alta." Lanjut Kaia sembari mengusap lembut kedua pipi Asta dengan ibu jarinya. Gadis itu tersenyum. Jenis senyum yang paling Asta suka. Senyum yang menenangkan.
Asta masih terdiam dan hanya bisa memandangi wajah Kaia yang berada di depan wajahnya.
"Dan buat gue... lo juga nggak gagal, Ta. Lo baru akan gagal ketika lo nyerah."
"Lo bakal kasih gue kesempatan kayak Alta ngasih gue kesempatan?" tanya Asta seperti mendapat semangat baru.
Kaia hanya mengangguk. Kemudian dengan perlahan ia menurunkan tangan yang sedari tadi mengusap pipi Asta. Sepertinya keberanian Kaia menyentuh Asta sudah mencapai batas. Ia mulai merasa malu, seiring dengan jantungnya yang kian berdebar.
Namun siapa sangka, Asta menggenggam tangan gadis itu dengan cepat dan menahannya agar tetap berada di pipi cowok itu. Saat ini, Asta tidak mau Kaia berhenti menyentuhnya. Ia masih menginginkan sentuhan Kaia.
"Thank you and I love you, Kaia."
Kaia tidak bisa berkata-kata setelah mendengar ucapan lembut dari Asta. Bahkan ketika Asta mulai mendekatkan wajah, Kaia tidak bisa menghindar apalagi menolak. Kaia hanya menutup kedua mata, menyambut ciuman dari Asta di bibirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALASTAIR
Teen Fiction(COMPLETE) Dia adalah seorang pemuda yang mendekati sempurna secara fisik, namun minus secara akal. Dia tampan, tetapi arogan. Dia tinggi, tetapi suka semaunya sendiri. Dia memiliki tubuh yang wangi, tetapi egonya tak tertandingi. Dia berasal dari k...