XLVIII

1.3K 62 0
                                    

Kaia langsung berlari memeluk sahabatnya begitu keluar dari mobilnya. "Lo udah kuat?"

Rion tersenyum sambil mengurai pelukan Kaia. "Nggak usah lebay, deh. Kayak gue sakit parah aja." Gadis itu meneruskan langkahnya, didampingi oleh Kaia di sebelahnya.

"Sakit hati kan termasuk sakit parah, Ri. Bahkan saking parahnya, sampe nggak ditanggung asuransi kesehatan."

Ucapan Kaia membuat Rion terkekeh. Ternyata tak sekolah beberapa hari dan tak mendengar suara Kaia membuatnya rindu. "Makasih ya." katanya tulus.

"Emang gue kenapa sampe lo makasihin?"

"Udah bawa Asta. Setelah kemaren lo sama Asta dateng ke rumah, gue jadi lebih banyak mikir daripada nangis. Apa yang Asta bilang itu bener, Kai. Gue emang harus milih dua pilihan itu. Nangis terus nggak bakal bikin masalah gue selesai."

Kaia diam menyimak.

"Gue udah nentuin pilihan gue, Kai. Gue mau berusaha buat perjuangin Oscar lagi."

Kali ini Kaia terdiam. Cukup takjub dengan keputusan temannya. Rion merupakan tipikal yang selalu menerima apa adanya, makanya Kaia terkejut kalau Rion berkeputusan untuk memperjuangkan Oscar.

"Nanti kalo ternyata pilihan gue keliru, tolong lo siapin diri lo ya, Kai. Mungkin lo orang yang bakal paling gue repotin." Lagi-lagi Rion tersenyum. Senyumnya terlihat tidak begitu yakin, terlihat ragu. Mungkin itu juga yang sedang Rion rasakan sekarang. Namun perasaannya yang masih ada untuk Oscar, membuatnya harus mengambil pilihan itu.

"You can count on me, Rion!" seru Kaia sambil membusungkan dadanya dengan otaknya yang tidak sepenuhnya fokus pada Rion. Tiba-tiba Kaia teringat pada Asta. Kira-kira Asta mengambil keputusan yang mana ya? Menerima seperti yang saat ini terjadi atau malah akan memperjuangkan Licia kembali?

*

Faolan langsung bergabung bersama dengan Ben dan Ian yang sudah lebih dulu sampai di kantin. Wajahnya yang kecut langsung disambut tawa oleh kedua temannya. "Lo kayak cewek lagi dapet aja, Lan." Komentar Ian.

"Gue tebak, pasti si cebol." Gumam Ben sambil tertawa.

Faolan hanya berdecak sambil menenggak minum Ian hingga habis. Benar apa kata Ben. Ini karena Kaia yang menolak ajakannya ke kantin.

"Lo masih inget waktu si Asta mukulin gue? Waktu itu dia sempet bilang kalo gue nggak boleh deketin si cebol. Gue jadi mikir, apa si cebol udah jadi orang penting buat dia?" kali ini Ben tampak sedikit serius. Tawanya perlahan memudar.

"Ah, iya. Gue inget." Ian menimpali dengan cepat.

Satu ujung bibir Ben terangkat, "Kayaknya seru juga kalo—"

"Jangan sekali-kali lo coba deketin Kaia!" dengan cepat Faolan memotong perkataan Ben. Faolan sudah paham betul kemana arah pembicaraan Ben jika dibiarkan.

Sama halnya Ian, Ben juga terkejut dengan ucapan Faolan yang terdengar tidak main-main. Selama ini, Faolan adalah temannya yang paling santuy dan paling kalem. Tidak pernah terlihat Faolan seperti ini. Apalagi karena seorang cewek.

"Bukan cuma Asta, gue juga nggak bakal diam kalo lo sampe berani macem-macem sama Kaia. Gue serius." Tandas Faolan menatap kedua mata Ben lurus-lurus.

Ben sampai kesusahan menelan ludahnya sendiri. Kalau sudah Faolan yang meminta, rasanya akan sulit ia abaikan. Sayang sekali, padahal ia masih ingin bermain-main dengan Asta.

Di saat yang sama, seseorang yang tak terduga muncul di kantin. Bisa dibilang, ini adalah kemunculan perdananya sejak waktu yang cukup lama. Karena itulah, kemunculannya berhasil menyedot perhatian orang-orang seisi kantin.

ALASTAIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang