XXXVI

1.5K 74 18
                                    

Hari ini Licia tidak datang ke sekolah. Rentetan peristiwa yang menimpanya belakangan membuat keadaan mentalnya terganggu sehingga ia membutuhkan waktu untuk pulih.

Di samping Licia yang terbaring di ranjang, Meg duduk dengan hati teriris. Meg sedih melihat kondisi Licia yang sekarang.

"Gue nggak tau lagi harus gimana menjalani sekolah gue, Meg." Gumam Licia sambil menatap ke jendela kamarnya yang terbuka.

Meg segera menggenggam tangan Licia. Meskipun Licia sempat mengatakan kata-kata tak mengenakkan padanya, bagi Meg, Licia tetap temannya. Meg tidak akan meninggalkannya. Meg akan selalu ada untuk Licia. Meg janji.

Dua jam berlalu sejak Meg berkunjung ke rumah Licia. Meg pun akhirnya pamit pulang. Di luar rumah Licia, ia bertemu dengan Ben yang berniat hendak menjenguk Licia. Meg yang semula sudah membuka pintu mobillnya, kembali menutupnya rapat. Ia berjalan cepat, menghampiri Ben yang baru dua langkah menjauh dari mobilnya.

"Lo—"

"Lo udah gagal menjamin keselamatan Cia. Lo udah gagal ngelindungin Cia. Lo gagal, Ben!" potong Meg tanpa basa-basi langsung ke inti.

"Maksud lo apa?" alis Ben langsung menyatu.

"Lo bilang lo bakal jadi backing Cia, nyatanya apa? Cia ditabrak Asta pas sama lo. Cia disekap Asta berhari-hari. Cia masuk rumah sakit. Cia di-bully di sekolah. Cia nyaris ditelanjangi sama Mera. Bahkan sekarang mental Cia terganggu! Kalo dari awal lo nggak nyoba buat deketin Cia dan mengiming-imingi Cia kebebasan, Cia pasti nggak akan ngerasain itu semua! Ini semua gara-gara lo, Ben!" Meg yang emosial menumpahkan semua emosinya pada cowok itu.

"Hah? Apa lo bilang? Gara-gara gue?" Ben melebarkan kedua matanya. Tidak percaya, tidak terima.

"Lebih baik lo jauhin Cia. Cia masih lebih baik sama Asta daripada sama lo!" tegas Meg sambil berlalu dengan cepat, sebelum Ben sempat berbuat sesuatu padanya.

*

Dengan lemas Kaia meletakkan lembar kertas begitu saja di sebelahnya yang sedang duduk sendiri di kursi taman. Bahunya meluruh disertai dengan helaan nafas yang panjang. Matanya menatap kosong pemandangan ruangan kaca yang aesthetic itu dimana di sekitar tempat itu ada dua pasang kekasih yang tak Kaia sedang apalagi kalau bukan pacaran. Selain indah, taman sekolah ini memang sering dijadikan tempat memadu kasih bagi para siswa yang mempunyai pasangan. Suasananya yang tenang, ditambah dengan rindangnya pepohonan yang tumbuh di area itu seolah menjadi nilai plus sendiri di mata penikmatnya.

Kesendirian yang menyertainya rupanya tidak berlangsung lama, karena Kaia merasa ada sesorang yang duduk di sebelahnya. Orang itu adalah Asta. "Lo ngapain disini?"

"Lo sendiri?" bukannya menjawab, Asta malah balik bertanya pada Kaia.

Kaia menggelengkan kepalanya. Menolak jujur pada cowok itu. Hal itu membuat Asta mendengus.

"Beliin gue minum."

"Capek." Keluh Kaia.

"Cepet." Desak Asta tak mau tau.

"Kenapa tadi pas kesini nggak sekalian beli sendiri sih? Kasian kaki lo jadi nganggur—"

"Cepet!" seru Asta tak bisa diganggu gugat

Sambil menginjakkan kakinya kuat-kuat ke tanah, Kaia berdiri. "Iya, Tuan!" setelah itu, Kaia benar-benar pergi ke kantin untuk membelikan minuman untuk Asta. Untuk sesaat, Kaia teringat ucapan Lanang waktu itu.

Lo mungkin nggak sadar, tapi lo satu-satunya orang yang selalu Asta suruh buat ngebeliin dia minum.

Apa itu benar? Apa memang Asta hanya mau menyuruh dirinya saja yang membelikan minum untuknya karena dirinya memang istimewa di mata Asta?

ALASTAIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang