LVI

1.2K 58 17
                                    

"Alta!"

Namun baru beberapa langkah Asta meninggalkan tempat itu, suara panik Kaia yang memanggil nama Alta segera menghentikan langkahnya. Asta termenung di tempat tanpa membalikkan tubuhnya. Meski demikian, ia bisa mendengar suara gaduh yang bersumber dari orang-orang yang ada di belakangnya.

Lanang berjalan cepat dari tempatnya semula hingga melewati Asta yang masih terdiam di tempat. Ketika melintas di samping Asta, Lanang sempat menoleh pada Asta sebelum akhirnya kembali berlari ke tempat parkir untuk mengambil mobilnya. Di belakang Lanang, turut berlari Ilo. Sama seperti Lanang, Ilo juga sempat menoleh pada Asta ketika melintas di samping cowok itu.

Tak lama kemudian, Lanang dan Ilo sudah kembali ke tempat awal dengan mobil mereka masing-masing. Dengan bantuan Oscar, Alta dibawa masuk ke dalam mobil Lanang. Diikuti oleh Kaia yang juga ikut masuk ke mobil Lanang. Sedangkan Rich, segera masuk ke mobil Ilo.

Semua berlalu begitu cepat. Hingga tak sampai lima menit kemudian, suara gaduh itu sudah tidak terdengar lagi oleh Asta yang masih belum bergerak satu jengkal pun dari tempatnya berdiri.

Hening. Sangat hening. Seperti tidak ada kehidupan. Itu yang kemudian Asta sadari bersamaan dengan rasa takut yang pelan tapi pasti mulai menyerbu perasaannya.

*

Begitu sampai di rumah sakit, Alta langsung dilarikan ke IGD dan segera ditangani oleh tim medis yang sedang berjaga. Kaia, Lanang, Oscar, Ilo dan Rich yang hanya diperbolehkan mengantar sampai luar ruang IGD, menunggu dengan resah. Sampai tak lama kemudian, muncul dokter Utair dengan langkah panjang dan tergesa ikut masuk ke IGD. Sebagai seorang dokter sekaligus seorang ayah, beliau ingin memeriksa serta memastikan sendiri keadaan putranya yang baru saja dikabarkan tidak sadarkan diri.

"Alta serangan jantung?" tanya Rich memecah kesunyian. Pertanyaannya ini mewakili pertanyaan teman-temannya yang lain yang langsung serempak memperhatikan Kaia. Tampaknya Kaia tau banyak soal Alta.

Kaia menggeleng. "Dia punya gangguan pernafasan."

Oscar langsung meremas rambutnya. Tidak menyangka kalau anak SMP yang tadi dibentak oleh kakaknya sendiri ternyata mempunyai penyakit yang tidak boleh diabaikan.

"Tapi dia bakal baik-baik aja kan?" kali ini Ilo yang bertanya.

"Mudah-mudahan." Lagi-lagi Kaia menjawab.

Sekitar beberapa menit setelahnya, pintu IGD terbuka. Memunculkan sosok Alta yang masih terbaring lemah di atas brangkar yang didorong oleh petugas medis diikuti oleh dokter Utair di belakang. "Kalian yang bawa Alta kemari?" dokter Utair sempat berhenti di hadapan Kaia dan yang lainnya yang tampak penasaran namun tidak berani bertanya pada dokter Utair tentang Alta yang dibawa keluar dari IGD.

Kelima remaja itu mengangguk.

"Terima kasih." Ucap dokter Utair kemudian sambil tersenyum singkat. Kemudian, dokter itu berbalik badan. Hendak pergi menyusul putranya. Namun sebelum benar-benar pergi, beliau sempat menoleh kembali pada Kaia dan yang lainnya. "Kalian bisa jenguk Alta di kamarnya nanti." Ketika mengatakan itu, dokter Utair menatap Kaia. Seolah memberi isyarat pada keempat cowok itu kalau ingin tau dimana kamar Alta dirawat, bisa bertanya langsung pada Kaia.

*

Seperti kata Kaia, Alta dirawat di kamar paviliun yang sama dengan ketika Alta dirawat dulu. Paviliun yang berdiri sendiri dan jauh dari ruangan lain. Seolah-olah ini menjadi kamar private milik Alta. Belum lagi fasilitas kamarnya yang sudah mirip hotel bintang 5, bukannya seperti rumah sakit pada umumnya.

"Enak ya, jadi anak pemilik rumah sakit. Dapet kamar beda, sekelas hotel." Decak Rich yang baru pertama kali masuk ke kamar Alta.

"Salah sendiri bokap lo bukan pemilik rumah sakit." sahut Ilo.

ALASTAIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang