V

5.4K 185 9
                                    

"Hai, Licia!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Hai, Licia!"

Seketika Licia membalikkan tubuhnya. Seingatnya, tadi di kelas tidak ada siapapun. Tetapi sekarang, tepat di ambang pintu kelas, ia melihat seorang cowok tengah menyeringai lebar. Jika Asta adalah orang yang ia benci nomor satu, maka cowok itu adalah yang kedua.

"Sendirian aja, udah nggak punya temen?" cowok itu kembali menyeringai. Kali ini disertai langkahnya yang mulai mendekati tempat Licia berada.

"Pergi lo!" usir Licia dingin.

"Ck, ck, ck, kejam amat. Padahal niat gue kan baik, mau nemenin lo yang sendirian." Cowok itu kini sudah semakin dekat dengan Licia.

"Gue bilang pergi!" ulang Licia.

Bukannya cowok itu takut apalagi menurut, yang ada malah terkekeh. "Emang lo nggak kesepian apa, sendirian nggak ada yang nemenin?"

Licia terdiam. Sialan cowok ini. Kalau niatnya mau menyindir, maka ia berhasil. Tetapi bagi Licia, kesendirian seperti ini masih lebih baik daripada harus berdua dengan cowok itu. Cowok yang tidak lebih waras dari pacarnya sendiri, yang mengejar-ngejar cintanya meskipun tau Licia tidak pernah menyukainya, meskipun tau Licia sudah berpacaran dengan Asta.

Baiklah, apabila memang Licia tidak bisa membuat cowok bernama Ben itu pergi dari hadapannya, maka Licia yang harus pergi. Tanpa mengatakan apapun lagi, Licia pun melangkah.

Dengan gerakan yang lebih cepat, Ben menghadang langkah Licia. Tidak sampai disitu, cowok itu bahkan mendorong Licia hingga punggungnya membentur dinding kelas cukup keras dan membuat Licia merintih kesakitan. "Gue suka dengerin rintihan lo, Licia." Bisik Ben.

Licia terdiam. Nafasnya makin memburu. Setiap hari ia sudah lelah berhadapan dengan Asta. Hari ini ketika tidak berhadapan dengan Asta, ia masih harus berhadapan dengan Ben. Licia jadi kesal. "Minggir!"

Bukannya menuruti apa kata Licia, cowok itu malah tersenyum. Tentu senyumnya tidak jauh-jauh dari senyum menjijikkan. Terlebih sekarang Licia berada tak jauh di depannya, di dalam kurungannya. "Lo cantik, tapi kenapa lo lebih milih si cowok gila itu ketimbang gue?"

Itu juga yang Licia sesalkan. Maksudnya, kenapa Licia memilih cowok gila alias Asta menjadi pacarnya? Bukan karena Licia tidak memilih Ben yang secara terang-terangan lebih dulu dan lebih sering mengatakan cintanya pada Licia daripada Asta.

Secara tampang, jelas Asta lebih unggul dari Ben. Secara materi, mungkin 11-12. Secara pemanfaatan otak di bidang akademis, Asta juga lebih unggul. Meski Asta tidak sepintar Lanang, paling tidak Asta tidak pernah tinggal kelas. Sedangkan Ben sendiri pernah tinggal kelas sekali sehingga ia harus menjalani masa kelas 10 nya selama 2 tahun. Lagipula sejak awal—sebelum tau sifat Asta seperti sekarang—Licia memang lebih menyukai Asta ketimbang Ben.

"Kalo kita pacaran, gue bakal bikin lo jadi cewek paling bahagia sejagad, Licia." Lanjut Ben tanpa ada niat melepas kurungannya.

Licia tersenyum sinis. "Gue nggak tertarik!"

ALASTAIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang