XVI

2.1K 95 2
                                    

"Lan, ada ribut-ribut apaan sih?" Kaia yang baru kembali dari toilet hendak menuju kelasnya terpaksa tertahan ketika melewati kelas 12 IPA 2, banyak kerumunan di sana sampai Kaia kesusahan untuk lewat. Di tengah keributan itu, ia melihat teman sekelasnya dan segera bertanya.

"Asta lagi berantem sama Cia." Jawab Faolan yang hanya membuat Kaia membulatkan mulutnya. "Katanya Cia nggak jadi dateng pas mereka udah janjian jalan."

Selanjutnya Kaia terdiam. Ia jadi teringat dengan apa yang ia dan Rion lihat kemarin Minggu sekaligus ingat perkataan Asta yang membatalkan ikut main bersama teman-temannya karena ada janji dengan Licia. Alasan Licia tidak datang pasti karena ia sedang jalan dengan Ben dalam waktu yang harusnya Licia sedang jalan dengan Asta. Entah tindakan Licia ini patut dipuji atau disayangkan. Hanya saja Kaia sedikit tidak percaya sebab cowok yang bersama Licia adalah Ben. Musuh Asta dan semua orang juga tau kalau Ben secara terang-terangan berusaha merebut Licia dari Asta.

*

"Kenapa kamu disini?" tegur Pak Hadi begitu memasuki kelas 12 IPA 2 dan di dalamnya terdapat seorang siswa yang tidak seharusnya menjadi bagian dari kelas 12 IPA 2. "Siapa yang membawa kamu kesini?" tegus Pak Hadi lagi karena teguran pertamanya tidak mendapatkan respon. Pak Hadi tau pasti siapa siswa itu. Licia, pacar Asta. Mata tajam pak Hadi segera tertuju pada Asta. Pasti ini perbuatan Asta. Siapa lagi siswanya yang suka semaunya selain dia. "Alastair?"

"Hari ini Cia jadi siswa kelas ini, Pak." jelas Asta singkat, membuat Pak Hadi terkejut.

Karena keberadaan Licia di sebelah Asta, secara otomatis Yoshi yang menjadi teman sebangku Asta terpaksa mengungsi ke tempat duduk lain yang sayangnya ia baru sadar, dimana ia akan duduk kalau ia diusir dari tempatnya duduk selagi seluruh kursi di kelas sudah penuh. Alhasil Yoshi hanya bisa berdiri di belakang seperti orang bodoh yang kebingungan.

"Asta! Jangan seenaknya kamu!" seruan amarah Pak Hadi baru terdengar setelahnya. Beliau langsung berjalan cepat menghampiri bangku Asta. "Cepat kembalikan Cia ke kelasnya!"

Asta berdecak, "Nggak."

"Siapa kamu berani mengatur-ngatur kelas?!"

"Asta." Ujar Asta sambil menatap guru itu tanpa rasa takut.

"Asta! Bapak tidak main-main, cepat kembalikan Cia ke kelasnya sekarang juga!"

"Nggak bisa! Saya mau ngasih pacar saya pelajaran!" ujar Asta tidak mau kalah.

"Bapak tidak mau dengar apapun alasan kamu! Cepat pulangkan Cia atau biar Bapak yang usir dia!" kelewat kesal dengan Asta, Pak Hadi berinisiatif menarik tangan Licia yang kebetulan sedang berada di atas meja. Karena tindakannya, Licia merintih kesakitan.

"BAPAK JANGAN BERANI-BERANI NYENTUH CIA!" bentak Asta berdiri seraya menepis tangan Pak Hadi dengan keras. Pak Hadi, Licia, dan semua teman-teman sekelas Asta sontak dibuat kaget dengan tindakan Asta.

"Gu-gue ke kelas aja." Licia yang merasa tidak nyaman, meraih tasnya, bersiap pergi. Namun tangan Asta menahan pergelangan tangannya.

"Jangan coba-coba lari tanpa persetujuan gue!" perintahnya mutlak. Meski ia sedang berbicara dengan Licia, namun matanya tertuju pada Pak Hadi.

Pak Hadi sungguh marah dan tersinggung. Harga dirinya sebagai guru sekaligus orang yang lebih tua jadi ternodai. Beliau mundur. Sadar akan kalah secara fisik dari Asta. "Ikut Bapak sekarang juga ke kantor!" Beliau segera membalikkan badannya, mengemasi buku-bukunya, lalu pergi dari kelas itu begitu saja.

Asta menghembuskan nafasnya kasar. "Ilo, lo duduk disini. Pastiin Cia nggak kemana-mana." Perintahnya pada Ilo sebelum Asta keluar dari kelas mengikuti perintah Pak Hadi.

*

Sampai bel istirahat berbunyi, Asta masih belum kembali ke kelas. Ilo yang sudah mulai gusar karena tidak tau harus menjaga Licia berapa lama lagi berkali-kali mencoba menelepon Asta. Akan tetapi, hasilnya nihil. Untuk itu ia berdecak kesal.

"Pergi aja. Gue nggak butuh penjagaan lo." Kata Licia ketus. Itu adalah kata-kata pertama yang terucap dari bibir cewek cantik itu selama kurang lebih 4 jam duduk 1 meja dengan Ilo.

"Maunya gitu. Cuma gue nggak mau ribut sama cowok lo."

"Lo takut sama Asta?" Licia menoleh, tersenyum sinis pada Ilo.

Ilo terdiam sesaat karena senyuman sinis Licia. "Gue rasa kita sama-sama tau alesan kita selama ini selalu nurut sama semua yang dia bilang. Bukan semata-mata karena takut, tapi karena emang dia nggak bisa ditentang."

Licia kembali tersenyum sinis sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

Ilo mengerutkan keningnya. Ilo ingat betul, ketika tadi pagi Asta marah besar dan ribut dengan Licia, Licia hanya bisa menangis-nangis menjadikan dirinya tontonan banyak orang tanpa menjelaskan alasan apapun terkait dirinya yang tidak datang pada acara kencannya dengan Asta. "Jadi sebenernya kenapa lo nggak dateng?" tanya Ilo dengan wajahnya yang serius.

Gadis cantik itu tidak langsung menjawab. Ia hanya mengulum senyum misterius sambil memainkan rambut panjang ikalnya. Hal itu bertahan cukup lama sampai akhrinya Asta datang. Kedatangan Asta inilah yang kemudian melenyapkan senyum itu.

"Thanks." Ucap Asta pada Ilo begitu dihampirinya meja Licia dan Ilo.

Ilo tidak bereaksi apapun. Matanya masih tertancap pada gadis yang sekarang memasang wajah memelas pada Asta. Setelah mendecih sekali, Ilo segera keluar dari kelasnya.

*

"Kalian nyadar nggak, belakangan Asta jadi lebih sering ribut sama Cia dari biasanya?" Ilo membuka obrolan malam hari ini di basecamp tempat mereka berlima biasa berkumpul di luar sekolah. Hanya saja malam ini Asta tidak turut hadir. Malam ini Asta sedang berkunjung ke rumah Licia. Benar-benar seharian tidak membiarkan Licia bebas sedikitpun darinya.

"Gue pikir lo satu-satunya manusia di bumi yang kepekaannya paling minus." Rich merespon pertama kali.

Saat ini Ilo sedang serius, jadi ia tidak menghiraukan ocehan Rich tentangnya.

"Tuh cewek mulai berani sama Asta." Lanjut Ilo.

Rich terkekeh, "Maksud lo berani selingkuh? Ya gimana nggak mau selingkuh, orang pacarnya berkepribadian ganda macem Alastair? Wajar lah, Cia nyari selingkuhan!"

"Gue serius, monyet!" desis Ilo.

Rich memicingkan matanya sambil merangkul Ilo, "Bukannya lo yang biasanya paling males ngurusin perbucinan Asta sama Cia? Kenapa tiba-tiba lo tertarik buat bahas masalah mereka?"

"Iya, nggak biasanya lo gini, Lo." Timpal Oscar setuju.

Ilo tidak menjawab. Tidak mengiyakan, tidak pula menyangkal. Memang benar, Ilo paling malas kalau sudah harus melihat atau mendengar soal hubungan asmara Asta dan Licia. Tetapi kali ini, ia merasa ada sesuatu dari Licia yang harus ia bahas dengan teman-temannya. Sesuatu yang menurutnya tidak baik untuk Asta.

*

Pukul 9 malam tepat, Asta baru pulang dari rumah Licia. Licia lega bukan main. Ia membaringkan tubuhnya yang kaku karena seharian harus kenyang menghadapi Asta. Meskipun sebelum pulang tadi Asta berpesan padanya agar langsung tidur malam ini, namun nampaknya Licia mengabaikannya begitu saja. Terlebih setelah Asta pergi, ada panggilan telepon dari Ben.

"Dia baru pulang." Lapor Licia membuat cowok di seberang berdecak.

"Kalian ngapain aja selama itu di rumah, sweety?"

"Bukan urusan lo." Tukas Licia tidak suka.

"Tadi pagi di sekolah, kenapa lo nggak biarin gue nolongin lo?"

"Bodoh! Yang tadi emang belum saatnya lo unjuk gigi. Ntar, ada waktunya."

"Kalo itu mau lo, gue bisa apa, Licia?"

Gadis itu segera memutus sambungan telepon seraya berdecak. Sejujurnya Licia jijik mendengar ucapan demi ucapan yang keluar dari mulut Ben. Akan tetapi, jalan itu sudah Licia pilih. Licia tidak bisa menghindarinya lagi. Licia harus terbiasa bersama Ben. Setidaknya sampai keinginannya untuk terbebas dari Asta terwujud.

ALASTAIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang