Deretan piagam penghargaan nyaris memenuhi dinding kamar yang bernuansa serba hitam. Hanya itu hiasan yang ada di kamar itu. Tak ada tempelan lain seperti poster atau apapun. Sepertinya memang sudah turunan genetik, bahwa setiap keturunan keluarga Kannon memang tidak menyukai hal-hal seperti itu. Mereka lebih menyukai sesuatu yang polos, elegan dan yah hitam yang gelap.
Bunyi kran yang sedari tadi berbunyi dari arah kamar mandi yang ada di dalam kamar, berhenti. Menandakan seseorang baru saja selesai memakainya. Benar, karena tak lama setelah itu, penghuni kamar gelap sekaligus rumah yang mirip kastil berhantu ini muncul dari arah kamar mandi.
Pemuda itu hanya mengenakan celana boxer warna hitam sebagai bawahan dan kaos oblong berlengan pendek dengan warna yang senada. Rambutnya yang masih basah karena keramas, dibiarkan tetap begitu. Handuk yang ia bawa dari kamar mandi hanya ia sampirkan begitu saja di atas pundaknya.
Kemudian pemuda itu meraih ponselnya yang tergeletak di nakas dekat tempat tidur. Sambil mengutak-atik ponselnya, ia keluar dari kamar. Menyusuri lorong rumah, lalu turun melalui tangga. Tujuannya adalah ke dapur. Pemuda itu haus.
Sejak pertama kali ia memutuskan untuk tinggal menetap di rumah ini, ia sudah menyulap kulkas yang selalu kosong—kalaupun ada isi makanannya, pasti sudah basi—menjadi kulkas yang penuh makanan. Tentunya makanan yang sehat dan bergizi. Sebab ia memerlukan asupan itu demi kembang tumbuhnya.
Setelah ia menuangkan segelas air putih dingin lalu menenggaknya hingga habis, ia kembali mengisi gelasnya hingga nyaris penuh. Ia akan membawanya naik ke kamarnya. Tempat yang menjadi favoritnya di rumah ini. Sebab ya, mau keluar kamar juga tidak ada siapa-siapa.
Ia jadi merasakan, apa yang sebelumnya pernah kakaknya rasakan. Tinggal di rumah ini sendirian. Tanpa siapapun. Ternyata sekesepian itu. Namun ia tak terlalu begitu memikirkannya. Karena sekarang keadaannya sudah berbeda. Memang ia tinggal sendirian di rumah sebesar ini, akan tetapi papa akan secara rutin mengunjunginya. Seminggu dua kali atau satu kali jika memang benar-benar sibuk. Sedangkan kakaknya yang saat ini tidak berada di Indonesia, seringkali menghubunginya lewat video call atau hanya telepon.
Tak terasa waktu sudah bergulir tiga tahun lamanya sejak kakaknya, Asta pergi melanjutkan pendidikannya di Massachusetts Institute of Technology, Amerika bersama dengan pacarnya, Kaia yang juga akhirnya berhasil masuk ke universitas impiannya, Johns Hopkins. Dan sekarang, Alta sudah bukan anak SMP seperti dulu lagi. Alta sudah tumbuh lebih tinggi serta lebih tampan. Ia tercatat sebagai siswa SMA Tohjaya. Salah satu SMA elit di Jakarta.
Semula, Alta berniat untuk mengambil kelas akselerasi agar ia tidak perlu berlama-lama berada di SMA Tohjaya, sekaligus agar bisa lebih cepat menyusul kakaknya di Amerika. Alta memang sudah bercita-cita sejak kecil ingin menjadi seorang dokter seperti papa sejak kecil. Keinginannya makin menjadi begitu Kaia ternyata juga memiliki impian yang sama dengannya.
Akan tetapi, keinginan Alta untuk mempersingkat masa SMA-nya batal ketika ia jatuh cinta pada seorang gadis!
Tak ada yang tau tentang perasaannya termasuk gadis itu sendiri selain dirinya dan Kaia. Alta memilih Kaia sebagai orang yang sering ia curhati untuk masalah asmaranya karena Alta sudah lama merasa nyaman pada Kaia, sehingga ia bisa terbuka dalam menceritakan perasaannya.
Sedangkan pada kakaknya sendiri, Alta masih malu berbicara tentang asmara. Terlebih Asta selalu menganggapnya sebagai anak kecil yang belum tau apa-apa.
Alta meletakkan gelasnya di meja. Setelah membalas chat-chat teman sekelasnya yang seringnya tidak penting, akhirnya kini Alta bisa memulai rutinitasnya. Yakni curhat dengan Kaia. Segera dia hubungi nomor Kaia.
"Ini masih pagi, ngapain lo ganggu orang tidur?"
Mulut Alta yang terisi air putih seketika muncrat begitu yang ia dengar bukanlah suara Kaia. Melainkan suara Asta yang malas dan berat! "Kak Asta?!! Kenapa lo yang angkat?!"
"Dia masih tidur di sebelah gue."
Kali ini mata Alta nyaris loncat dari tempatnya. Sekarang sudah malam di Jakarta, yang berarti masih pagi di hari yang sama di Amerika sana. Dan Asta bilang Kaia masih tidur di sebelahnya? Masih? Sejak kapan? Pikiran Alta langsung berkeliaran kemana-kemana yang ujungnya tetap pada satu kesimpulan. "Lo habis ngapain sama Kaia?"
Terdengar decakan dari Asta, "Anak kecil nggak usah tau."
Oh my God! Kakak kebanggaan gue baru aja nidurin anak orang!
"Ngapain telepon? Mau curhat?" pertanyaan Asta membuat Alta tersadar dari pikirannya sendiri.
"Eh, anu. Hah?"
Terdengar bunyi kekehan dari seberang sana yang Alta yakini pasti Asta sedang menertawakannya. "Kalo yang lo curhatin masalah dapetin cewek, harusnya lo curhat ke gue. Bukan ke Kaia."
"Tau darimana? Apa Kaia yang udah ember ke lo?" Alta benar-benar malu sekali. Untung saja tidak berhadapan langsung dengan Asta.
"Yang kakak lo sebenernya gue atau Kaia sih?"
"Secara ikatan darah emang lo. Tapi gue lebih mengakui Kaia sebagai sosok kakak yang sesungguhnya buat gue."
"Cih!" Asta mendengus. Tapi Alta tau, kakaknya itu tidak akan marah dengan ucapannya. "Dengerin gue baik-baik."
"Apa?" tanya Alta penasaran sekaligus menajamkan indra pendengarannya.
"Kalo lo pengen dapetin dia, pertama-tama lo masuk ke klub atau nggak circle yang sama kayak dia. Kedua, lo ganggu dia sampe dia ngasih perhatian ke lo. Ketiga, sering-sering lo suruh dia beliin lo minum. Keempat, ceritain masalah lo sama dia. Kelima, bikin dia jadi support system lo. Keenam, yakinin dia kalo dia itu spesial buat lo. Ketujuh, baru lo ajak dia pacaran and kiss her slowly."
Mulut Alta menganga. Seperti baru saja mendapat pencerahan atas permasalahan yang belakangan ia hadapi. Alta menyukai seorang gadis, namun tidak tau caranya mendekati apalagi menyatakan perasaannya karena tidak pernah berpengalaman dekat dengan gadis sebelumnya. Satu-satunya yang dekat adalah Kaia.
Setelah mencerna kalimat Asta baik-baik, cowok itu tersenyum lebar. Sepertinya Asta benar, harusnya ia meminta saran dan pendapat dari sudut pandang laki-laki yang dalam kasus ini adalah kakaknya sendiri.
Mungkin jika ia melakukannya dari dulu, tiap malam Alta tak harus dilanda galau. Mungkin gadis itu sudah ada di pelukannya sekarang. Dan yang paling penting, Alta tidak perlu menyandang status jomblo lagi!
"Oke, gue bakal coba saran lo. Lo emang kakak kebanggaan gue!" Alta berseru senang.
"Sip."
"Eeeeh, bentar dulu. Jangan dimatiin dulu teleponnya!" tahan Alta.
"Apa lagi?"
"Lo... beneran tidur sama Kaia?" tanya Alta hati-hati sambil menggigit bibir.
*
"Shit!" Asta mengumpat kaget begitu kepalanya ditimpuk dengan sebuah bantal tepat ketika ia mengakhiri panggilannya dengan Alta. Ia menoleh ke belakang, tepatnya di atas sofa yang sama dengan yang ia duduki sekarang ini.
Seorang gadis yang mengenakan pakaian super tebal lengkap dengan beanie yang menutup kepala terlihat gugup. Sambil gedubrukan merapikan dirinya yang ketiduran di apartement Asta, ia mengomel pada cowok itu, kekasihnya. "Kenapa lo nggak bangunin gue?!!! Kan gue udah bilang gue ada kelas jam 9 pagi!!!"
*** BENERAN TAMAT ***
Arigathanks!!
Desiariaa, 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
ALASTAIR
Teen Fiction(COMPLETE) Dia adalah seorang pemuda yang mendekati sempurna secara fisik, namun minus secara akal. Dia tampan, tetapi arogan. Dia tinggi, tetapi suka semaunya sendiri. Dia memiliki tubuh yang wangi, tetapi egonya tak tertandingi. Dia berasal dari k...