"Asta, udahan main-mainnya. Nanti adik kamu kecapekan." Kata mama mengingatkan pada putra sulungnya agar berhenti bermain-main dengan adiknya.
"Nggak, Ma! Alta masih mau main sama Kak Asta!" Alta yang nafasnya sudah pendek-pendek tetap ngotot dan memaksakan diri untuk terus bermain.
"Bener tuh kata mama! Ntar asma kamu kumat loh!" imbuh Asta.
Alta menggelengkan kepalanya kencang, wajahnya sudah cemberut, siap untuk mewek. Alta kalau sudah begini akan berubah menjadi adik yang menjengkelkan. "Alta mau main sama Kak Asta! Pokoknya main sama Kak Asta!"
Tetapi semenjengkelkannya Alta, Asta yang selalu sayang pada adik satu-satunya pada akhirnya selalu menuruti apa yang Alta mau. "Oke, oke, kita main sekali lagi ya? Sana kamu sembunyi, Kak Asta yang jaga."
"Kak Asta..." sahut mama sambil menghembuskan nafasnya yang berat.
"Terakhir, Ma." Kata Asta nyengir lebar. "Satu... Dua... Tiga..." Asta mulai menutup matanya sembari mulai berhitung di saat Alta yang sudah girang bukan main berlari untuk bersembunyi.
Hitungan itu berhenti pada angka 30. Asta sempat bertanya pada mamanya lewat isyarat kemana adiknya pergi. Mamanya dengan suportif menunjuk ke arah lantai dua sambil menahan tawa. Segera Asta pergi ke lantai dua rumahnya untuk mencari adik kecilnya.
Sejujurnya Asta tidak suka jika harus bermain petak umpet bersama Alta. Karena Alta kalau sudah bersembunyi akan susah ditemukan. Tadi saja butuh sekitar 15 menit untuk menemukan Alta. Lalu sekarang, harus butuh berapa menit?
15 menit sudah berlalu. Tapi tanda-tanda keberadaan Alta masih belum diketemukan. "Ta, Altaaaa! Dimana?" Asta berteriak. Sudah mulai bete mencari adiknya. Tak ada jawaban. Sampai Asta masuk ke kamar Alta, mencoba mencarinya disana, tetapi tetap tidak ada. Asta menghembuskan nafasnya kasar. Melihat tempat tidur sore begini, ditambah hujan membuat Asta tergoda untuk merebahkan tubuhnya sejenak. Ide jail muncul di kepala Asta. Daripada capek-capek mencari adiknya, lebih baik ia tidu sebentar. Biar saja Alta bersembunyi dan memenangkan permainan ini. Itu juga akan membuat adiknya lebih senang kok.
Asta benar-benar tertidur. Tetapi tidak lama karena tiba-tiba ia mendengar teriakan Alta.
Asta segera terbangun dan terkejut begitu mendapati seluruh ruangan menjadi gelap. Apa yang terjadi selama ia tidur? Kenapa rumah jadi gelap? Tanpa lampu yang mati saja rumah ini sudah gelap, apalagi kalau mati begini?
Tidak mau lama-lama memikirkannya, Asta teringat dengan teriakan Alta tadi. Secepatnya ia berusaha keluar kamar, menuju ke asal suara itu. "Ta, dimana? Gelap nih, nggak liat apa-apa." Asta memanggil adiknya sambil melangkah hati-hati, menuruni anak tangga. Tak ada jawaban. Hening. Hingga sayup-sayup Asta mulai mendengar suara isak tangis.
"Ta, dimana? Jangan main-main!" Asta mulai panik karena suara tangisan itu.
Suara isak tangis Alta kian jelas. Artinya, Asta mulai mendekati tempat dimana Alta berada. "Alta! Mama!" Asta makin panik dan memanggil dua orang yang saat ini berada di rumah bersamannya.
Langkah Asta terhenti seketika ketika kakinya tanpa sengaja mengenai sesuatu hingga membuatnya terjatuh. Bersamaan dengan itu, ia yakin kalau disinilah asal suara isak tangis Alta berasal.
Asta melihat ada sumber cahaya tak jauh dari jangkauannya. Segera ia ambil senter yang tergeletak di lantai. Begitu senter yang menyala itu ada di dalam genggamannya, ia sorotkan pada adiknya yang berada sekitar dua meter di sampingnya sedang menangis. Asta lega akhirnya berhasil menemukan adiknya meski dalam keadaan menangis. Segera ia hampiri sang adik, "Udah, udah, ada Kak Asta di—"
KAMU SEDANG MEMBACA
ALASTAIR
Teen Fiction(COMPLETE) Dia adalah seorang pemuda yang mendekati sempurna secara fisik, namun minus secara akal. Dia tampan, tetapi arogan. Dia tinggi, tetapi suka semaunya sendiri. Dia memiliki tubuh yang wangi, tetapi egonya tak tertandingi. Dia berasal dari k...