XLIV

1.3K 59 2
                                    

Tak henti-hentinya Kaia memukuli kepalanya sendiri karena sejak pulang sekolah ia tak bisa menghilangkan pikirannya dari Asta. Kai, lo mikir apa sih? Asta bukan siapa-siapa lo yang bisa lo atur-atur apalagi lo tahan selagi dia ingin pergi!

Untuk kesekian kalinya, Kaia menasehati dirinya sendiri yang menjadi tidak sadar diri terhadap Asta tadi. Menahan tangan laki-laki itu agar tidak pergi menolong Licia. Sungguh konyol, saking konyolnya, Kaia ingin menertawai dirinya sendiri. Untung saja otaknya cukup cerdas, mampu mengarang sebuah narasi yang jauh dari kata hatinya.

Ponsel yang tiba-tiba bergetar, membuat Kaia segera tersadar dari kegilaannya. Segera ia raih dan angkat panggilan telepon yang rupanya datang dari Rion. "Ya, Ri? Gimana?

"Kai, bisa ke rumah sekarang?" terdengar isak tangis di seberang.

*

Gurih sekali rasanya Rich menggoda Oscar yang kemarin baru saja mengundang Rion makan malam di rumah bersama dengan keluarga ningratnya. Namun yang digoda, sama sekali tidak menunjukkan wajah senang. Malah kalau diperhatikan baik-baik, wajah Oscar tampak murung. Hal itu membuat Lanang terpaksa memukul punggung Rich agar Rich berhenti mengoceh. Rich ini memang tipikal orang yang paling tidak peka.

"Apa semalem ada apa-apa sama acaranya?" tanya Lanang serius pada Oscar.

Oscar menghela nafasnya panjang, "Gue putus sama Rion."

*

Kaia hanya bisa mematung tidak percaya setelah mendengar cerita Rion tentang pengalamannya dinner bersama keluarga Skyler tadi malam. Keluarga Oscar menyuruh Oscar untuk menyudahi hubungannya dengan Rion dengan alasan agar Oscar bisa fokus ke belajarnya yang sebentar lagi akan lulus SMA, melanjutkan kuliah sekaligus memulai terjun ke perusahaan yang papanya pimpin. Sudah sejauh itu keluarga Oscar mempersiapkan masa depan putra satu-satunya.

"Gue harus gimana, Kai?" Rion menangis sambil memeluk boneka beruang pemberian Oscar yang ukurannya 2X lipat dari ukuran badan Rion. Boneka itu Oscar beri pada Rion untuk menandai anniversary mereka yang kesatu.

Kaia menepuk-nepuk bahu Rion, berusaha menguatkannya. Kaia sendiri tidak tau harus berbicara apa Rion. Karena ini di luar dugaannya, di luar kendalinya.

"Gue nggak mau putus dari Oscar, Kai." Tangis gadis itu makin menjadi. Membuat Kaia ikut merasa sakit dan akhirnya Kaia memeluknya dengan erat. Hanya itu yang bisa Kaia lakukan untuk saat ini.

*

Jari Asta mengetuk-etuk setir mobil di depannya sambil memperhatikan pemandangan hijau di luar mobil. Setelah bertemu dengan Licia di hotel tadi, Asta membawanya pergi ke taman kota. Tidak perlu keluar dari mobil, tetap di dalam mobil.

Dengan perasaan yang kacau dan berderaian air mata, Licia sudah menceritakan semuanya. Bagaimana awal ia bersedia mengiyakan ajakan Ben di resto and bar itu, lalu dirinya yang hendak pulang namun tiba-tiba merasa pusing dan berkunang-kunang dan mulai tak sadarkan diri hingga sepenuhnya tidak sadar. Lalu terbangun keesokan harinya dengan tubuhnya yang telanjang bulat.

"Hidup gue hancur. Gue udah nggak punya masa depan lagi." Rintih Licia sambil memeluk tubuhnya sendiri. Kepalanya ia tenggelamkan dalam-dalam. Meski sudah selama ini ia menangis, namun air matanya tak mengering. Hanya matanya saja yang sembab dan mulai membengkak.

Asta melirik gadis itu. Sudah kesekian kali ia mendengar Licia mengucapkan kata-kata itu.

"Gue udah nggak punya harga diri lagi. Hidup gue udah nggak berarti lagi."

"Cewek yang udah nggak perawan nggak cuma lo." Kata Asta vulgar. Niatnya untuk menenangkan, malah membuat Licia makin merasa terpuruk. Secara tidak langsung Asta sudah menyamakan dirinya dengan cewek-cewek yang mudah merelakan keperawanannya di luaran sana.

ALASTAIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang