XXIX

1.6K 75 5
                                    

Sambil menyetir mobilnya, berulang kali Ben melirik gadis yang ada di sebelahnya. Gadis itu tampak kesal sejak tadi. "Kalo lo cemberut terus, cantik lo ilang, honey." Goda Ben.

Lirikan tajam Licia yang segera tertuju padanya membuat Ben terkekeh.

"Gue udah salah sangka. Gue pikir Asta itu gila parah. Ternyata nggak." kata Ben mengganti topik pembicaraan seenaknya. "Gue pikir dengan gue mendeklarasikan hubungan kita di prom kemaren, dia bakal ngejar gue sampe akherat. Ternyata nggak ada apa-apanya." Ben mengedikkan kedua bahunya sambil tersenyum angkuh. Merasa menang atas Asta.

"Lo salah, Ben." Tukas Licia membuat senyum di bibir Ben menghilang dengan perlahan. Tidak sama halnya dengan Ben, Licia justru merasa kalau Asta akan melakukan hal yang lebih gila dari biasanya. Perasaannya tidak enak.

Meskipun sudah berhasil memutuskan secara sepihak hubungannya dengan Asta, Licia tidak pernah bisa tidur dengan nyenyak. Ia diserang rasa takut atas kemungkinan yang bisa saja Asta lakukan di kemudian hari. Meskipun kenyataannya, sampai detik ini Asta hanya baru menemuinya sekali dan terbilang masih dalam level 'wajar'. Tapi bukan hal yang mustahil kalau nanti Asta akan muncul dalam level yang berbahaya.

"Kalo sampe Asta bertindak, lo yang harus hadepin dia." Ucap Licia dengan kedua matanya yang terarah lurus pada Ben.

Yang mau tidak mau membuat Ben kembali tertawa. "Tenang aja, Licia. Pacar lo yang sekarang lebih bisa diandalkan daripada pacar lo yang kemaren."

Licia mendecih. Tidak suka mendengar Ben menyebut dirinya sendiri sebagai pacarnya padahal kenyataannya adalah pacar pura-pura saja.

Masih sambil tertawa penuh kemenangan, Ben kembali fokus pada pemandangan di depannya. Di saat itulah, ia melihat sebuah mobil berwarna hitam dari arah yang berlawanan melesat cepat ke arah mobilnya. Ben langsung membanting setirnya ke kiri, yang sayangnya masih kalah cepat. Mobil hitam itu sudah lebih dulu mencapai mobilnya, menabrak mobilnya.

*

Satu alis Kaia otomatis terangkat begitu melihat sosok cowok berseragam SMP elit tak jauh berdiri di depannya. Cowok itu menatap ke arahnya, dengan senyum miring yang menyebalkan. "Dia beneran dateng." Gumam Kaia sambil memperhatikan cowok yang mulai berjalan ke arahnya.

"Gue pikir lo bohong." Ucapnya, Alta begitu tiba di depan Kaia.

"Gue akuin gue bukan orang yang jujur-jujur amat. Tapi gue juga nggak suka bohong kecuali terpaksa." Sahut Kaia.

Alta tidak merespon sahutan Kaia. Malah sekarang dia duduk persis di sebelah Kaia.

Merasa terlalu dekat, Kaia segera bergeser. Membuat jarak. Kaia tidak mau nanti dikira kakaknya. Atau yang lebih parah dikira adiknya!

"Gue bukan virus." Protes Alta tidak suka dengan sikap Kaia.

"Biarin."

"Gue juga nggak penyakitan."

Segera Kaia menoleh, "Kalo lo nggak penyakitan, kenapa lo sering di rumah sakit begini?"

"Lo sendiri juga sering ke rumah sakit begini bukan karena sakit kan? Tapi nganterin papa lo fisioterapi kan?" Alta membalikkan pertanyaan Kaia.

"I-iya sih. Tapi kan alesan gue jelas. Lo? Apa? Kenapa lo sering di rumah sakit? Sendirian, nggak pernah didampingi." Cecar Kaia sambil menyipitkan kedua matanya.

Alta tidak segera menjawab. Cowok itu malah memalingkan wajahnya dari Kaia. "Karena disini banyak orang." Ucapan cowok itu terdengar sangat lirih, sampai Kaia merasa ragu menangkap kata-katanya. Ya takutnya, Kaia salah dengar, begitu.

ALASTAIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang