XIV

2.2K 91 10
                                    

Hari ini berjalan seperti biasa. Asta menjemput Licia lalu bersama-sama pergi ke sekolah. Rutinitas yang kini Licia rasa jauh lebih menyesakkan dari sebelumnya. Jika Licia diberi pilihan untuk berada di bus dengan kernet yang bau dibanding di mobil Asta, tentu saja Licia akan lebih memilih berada di bus. Kernet yang bau hanya menyebalkan pada saat di bus saja, berbeda dengan Asta yang dimanapun berada akan selalu menyebalkan. "Selingkuhan lo apa kabar? Udah mati?" tanya Asta membuka obrolan dengan pertanyaan mencengangkan, tepat setelah mobil berhenti di tempat parkir sekolah.

Licia melirik tajam. Tanpa ada niat menjawab pertanyaan Asta dan tanpa senyum sama sekali, Licia bergegas keluar dari mobil. Sengaja ia banting pintu mobil ketika ia menutupnya. Dan tanpa menunggu Asta keluar dari mobilnya terlebih dulu, Licia cepat-cepat pergi. Tetapi baru 3 langkah, tangan Asta sudah menahan lengannya lalu membalikkan tubuh Licia dengan sekali sentakan. Licia yang kesakitan, berusaha melepas cekalan itu dari Asta. "Lepasin gue!" seru Licia.

Asta sama sekali tidak mengindahkan permintaan Licia. Ia masih terus mencekal lengan Licia dengan erat dengan matanya yang tertancap lurus di kedua manik mata milik Licia.

"LEPAS!!!" karena Asta tak kunjung melepasnya, Licia yang hilang kesabaran alhasil menjerit. Sontak membuat perhatian orang-orang di sekitar jadi tertuju padanya.

Asta mendecih, "Yang selingkuh siapa? Yang berhak marah siapa? Yang nggak sadar siapa?" Dengan kasar Asta melepas cekalan di lengan Licia. Karena perlakuannya, tubuh Licia sedikit terdorong ke belakang.

Licia tertohok bukan main. Tertohok dengan ucapan Asta yang kemudian pergi begitu saja meninggalkan dirinya di tempat parkir. Untuk pertama kalinya Asta tidak mengantar Licia sampai di kelasnya.

*

Rupanya Asta langsung hinggap di kantin begitu pergi dari tempat parkir. Bukan karena lapar, ia hanya ingin merokok di sana. Pikirannya sedang sibuk memikirkan Licia yang sudah mulai berani padanya. Sudah berani selingkuh, sudah berani berteriak bahkan menentang. Menurut Asta, jika Licia dibiarkan berlarut-larut seperti ini, maka bukan hal mustahil ia akan kehilangan Licia.

Hanya membayangkan Licia pergi dari sisinya, Asta sudah ketakutan. Kehilangan sosok yang ia cinta adalah hal yang paling membuat Asta takut. Karena sebelumnya Asta sudah pernah merasakan bagaimana sakitnya. Untuk itu, Asta tidak ingin kembali merasakannya. Apapun yang terjadi, Licia harus tetap berada di sisinya. Harus tetap jadi miliknya.

"Mau gue temenin nggak, Ta?"

Asta mengangkat wajah. Di sampingnya, berdiri dengan seorang Mera dengan penampilannya yang selalu menggoda. Mera tersenyum, tetapi bukan senyum khas cewek polos nan manis, melainkan senyuman seksi. Seolah masih kurang, ia sengaja duduk di meja tepat di hadapan cowok itu sambil menghadap Asta. Agar makin maksimal, Mera sengaja membungkukkan badannya sehingga wajahnya sejajar dengan wajah Asta agar bisa memandangi wajah Asta yang menatapnya dengan wajah datar tanpa minat sama sekali. Tangan dengan hiasan nail art yang berwarna warni mulai bergerak pelan mengambil rokok yang terselip di bibir Asta, kemudian menyelipkan rokok itu di bibirnya sendiri. Ada sensasi tersendiri begitu bibirnya yang berisi dan seksi menyentuh rokok bekas bibir Asta. Bukannya ini bisa dihitung sebagai indirect kiss?

"Lo nggak mau selingkuh kayak Cia, Ta? Gue bersedia loh, jadi selingkuhan lo." Cewek itu mulai kembali bersuara. Ia isap rokok Asta dalam-dalam lalu mengepulkannya di depan wajah cowok itu.

"Pagi-pagi udah jualan diri. Salah lapak, Neng."

Mera segera menoleh ke arah datangnya suara itu. Tak jauh dari tempatnya, terlihat sosok Rich sedang tersenyum merendahkan sambil berjalan ke tempatnya dan Asta. Mera berdecak kesal, kedatangan Rich tentu sangat mengganggunya.

"Minggir!" Rich mengusir cewek itu begitu tiba di hadapannya persis.

Mera kembali berdecak, "Bisa nggak sih, lo nggak usah ganggu moment berdua gue sama Asta?"

"Keenakan di lo." Kata Rich terkekeh. "Udah sana pergi! Giliran gue yang mau berduaan sama Alastair!" kembali Rich mengusir cewek itu. Kali ini malah sambil mendorong punggungnya.

Mera kesal bukan main. Tetapi juga tidak bisa berbuat banyak selain pergi menuruti ucapan Rich.

Kalau tadi Rich yang datang menginterupsi, sekarang giliran Rich yang diinterupsi karena kedatangan orang yang paling ia benci sedunia, Rick.

Rick lebih muda satu tahun dari Rich. Sangat berbeda dari Rich yang cablak, Rick adalah tipikal cowok yang kalem dan tidak banyak omong. Rick pintar dan pandai terbukti dengan dirinya yang masuk kelas unggulan dan masuk dalam jajaran OSIS SMA Soebroto. Rick lebih tinggi 7 senti dari Rich. Rick pandai berolah raga dan memainkan alat musik. Tutur katanya santun, taat peraturan dan perintah guru, rajin dan tidak pernah sekalipun membuat masalah di sekolah. Semua perbedaan itu membuat guru-guru lebih menyukai sang adik ketimbang sang kakak. Sekaligus membuat Rich sangat membenci adiknya yang memiliki nama lengkap Alerick Kreshna Maliq.

"Ngapain lo disini hah?! Go to hell!!" sengit Rich menyambut sang adik.

Tanpa meladeni kakaknya, Rick melempar ponsel pada Rich. Karena tiba-tiba, Rich yang belum siap menerima benda itu, jadi sedikit kesusahan. Untung saja masih bisa ia tangkap. "Kenapa HP gue ada sama lo? Mau lo jual?"

Lagi-lagi Rick tidak meladeni Rich. Cowok itu hanya melirik kakaknya dengan malas. Sudah beruntung Rick mau membawakan ponsel sang kakak yang tertinggal di rumah. Daripada buang-buang waktu, lebih baik Rick segera pergi. Tak lupa ia menyempatkan diri untuk berpamitan pada satu orang lagi selain dirinya dan Rich, "Bang Asta, gue duluan ya."

Asta hanya mengangguk sekilas membalas sikap adik kelasnya yang lebih respect pada dirinya ketimbang pada kakak kandungnya sendiri.

"Adik kayak kambing! Kalo diijinin, udah gue jual lo ke dark web!" seru Rich kesal bukan main. "Mang Adi, gue pesen bubur ayam sekarang, cepet, nggak pake lama, nggak pake pedes!!" marahnya yang pada Rick, merambat hingga ke Mang Adi, penjual bubur ayam di kantin sekolah.

Tanpa menyadari tatapan Asta yang sejak kemunculan Rick tadi terus memperhatikan interaksi keduanya tanpa kedip.

*

"Udah mikirnya?"

Licia menelan ludahnya dengan susah payah. Cukup gila ia memikirkan penawaran yang Ben tawarkan padanya beberapa hari yang lalu. Dan setelah menimbang-nimbang, Licia pikir itu bukan sesuatu yang buruk. "Lo yakin bisa ngatasin Asta?" tanya Licia sambil melipat kedua lengannya di depan dada dan mengangkat sedikit dagunya yang lancip.

Ben terkekeh, pertanyaannya sedikit melukai hatinya, "Selain gue, siapa lagi?"

"Tapi gue nggak pernah tuh, sekalipun liat lo menang dari Asta." Licia berbicara seperti ini bukan dalam rangka membela pacarnya. Licia berkata apa adanya, berdasarkan fakta bahwa memang selama ini Asta memang selalu lebih unggul dalam hal apapun daripada Ben.

"Gue baru kalah kalo udah nyerah." Sanggah Ben.

Licia diam. Memperhatikan baik-baik cowok yang berdiri di depannya. Sejujurnya, Ben ini sebenarnya tampan. Hanya saja jika dibandingkan dengan Asta, tentu cewek-cewek sepakat bahwa Asta lebih tampan darinya. "Oke, kali ini gue bantu lo buat menang dari dia." Kata Licia membuat senyum Ben merekah.

"Jadi kita pacaran?"

ALASTAIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang