XXX

1.7K 72 8
                                    

Begitu terbangun, Ben langsung ambil posisi duduk di atas ranjang yang selama satu hari ini ia gunakan. Faolan dan Ian yang sedang menunggunya di ruangan itu segera mendekati ranjang. Mata Ben yang baru saja terbuka itu langsung memerah, menatap liar sekitarnya, mirip seperti orang kesurupan.

"Ben, Ben, lo jangan bangun dulu, Ben. Lo tiduran aja dulu." ujar Ian sambil memegang lengan Ben yang sayangnya langsung ditepis kasar.

"Bajingan itu mana?!" seru Ben dengan nafas terengah.

"Ben, lo—"

Ben segera memotong ucapan Faolan dengan umpatan kasar, "Gue harus bunuh dia sekarang juga!" Cowok itu bahkan mencoba untuk turun dari ranjang yang kemudian malah terjadi hal memalukan. Ben limbung, nyaris saja jatuh kalau saja tidak Faolan topang. Ketika Faolan mencoba membantunya untuk kembali berdiri, cowok itu bertindak kasar. Menolak bantuan Faolan dengan cara menepis tangan Faolan.

"Ck, berdiri bener aja nggak beres, gimana lo mau bunuh Asta? Yang ada lo yang beneran mokad!" seru Faolan dengan keras dan terpaksa mendorong tubuh Ben hingga kembali ke ranjangnya.

Ben meringis kesakitan. Sekujur tubuhnya masih terasa sakit karena efek perbuatan Asta kemarin siang. Ben pingsan sejak saat itu dan baru sadar hari ini. Entah apa yang terjadi setelah ia kehilangan kesadarannya, Ben tidak mengerti.

Melihat Ben yang sepertinya sudah terdiam, membuat Ian jadi bisa menghembuskan nafasnya lega. Sedangkan Faolan terlihat kesal. Bagaimana tidak kesal, di saat kondisi Ben masih buruk seperti itu, malah mau memaksakan diri mencari mati. Konyol.

"Cia... Dimana Cia?" tanya Ben kemudian dengan suaranya yang tidak selantang tadi.

Kedua temannya yang sama-sama masih mengenakan seragam sekolah hanya saling tatap. Ben yang melihat gelagat kedua temannya itu kontan mengerutkan kening dan terpaksa mengulangi kembali pertanyaannya.

"Cia ilang." Faolan menjawab pertanyaan Ben.

Kedua mata Ben kontan melebar. Ben terkejut bukan main mendengar kabar itu dari Faolan. Sebelum Ben sempat berkata-kata lagi, munculah orang lain dari balik pintu kamar inap Ben.

Orang itu adalah Meg. Meg datang dengan nafasnya yang naik turun. Hanya dengan melihat kondisi teman Licia yang seperti itu, sudah bisa dipastikan bahwa kedatangannya tidak akan membawa berita baik sama sekali. "Apa yang sebenernya terjadi sama Cia?"

Pertanyaan itu tidak Ben jawab. Ia hanya menunduk, memperhatikan telapak tangannya yang masih terasa kaku dengan kedua mata yang lagi-lagi melebar.

Terlepas dari Licia yang sudah menyakitinya dengan ucapan, Meg masih tetap setia pada Licia. Tadi siang, Meg menelepon mama Licia untuk bertanya tentang putrinya yang hari ini tidak terlihat di sekolah. Mama Licia bilang, hari ini dan beberapa hari ke depan Licia tidak akan masuk ke sekolah sebab sedang diajak pergi berlibur oleh Asta. Tentu saja itu bukan hal yang baik untuk Meg dengar. Mama Licia mungkin tidak khawatir karena beliau percaya pada Asta yang tak beliau tau kalau sebenarnya Asta bukan lagi pacar Licia. Tetapi Meg, sebagai satu-satunya teman Licia, tentu tau kalau menyangkut nama Asta, pasti ada sesuatu yang tidak beres.

Sekarang Meg tau Ben masuk rumah sakit di hari yang tak jauh berbeda dari menghilangnya Licia bersama Asta, yang juga menjadi bahan ghibah di sekolah. Banyak yang mengait-ngaitkan ketiga nama itu satu sama lain.

Ben mengepalkan tangannya kuat-kuat, lalu menyambar apapun yang ada di atas meja dekat ranjangnya hingga jatuh berantakan ke lantai, berserakan. "Asta, lo harus bayar semua ini!" desis Ben kemudian, penuh dengan emosi dan amarah.

*

Hari berikutnya, baik Licia, Ben maupun Asta lagi-lagi tidak muncul di sekolah. Hari ini pula, berita baru tentang alasan kenapa Ben dirawat di rumah sakit terungkap berkat mulut ember Ian. Ben dirawat di rumah sakit karena dihabisi oleh Asta. Mobilnya juga remuk karena ditabrak oleh Asta. Dan kemungkinan alasan paling rasional terkait menghilangnya Licia tentu saja karena Licia diculik oleh Asta!

ALASTAIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang