LVII

1.2K 70 6
                                    

Tepat di depan kamar Alta, Kaia menghentikan langkahnya. Diikuti oleh langkah Asta yang mengekor di belakang. Kaia membalikkan tubuhnya, menghadap tubuh Asta yang menjulang tinggi dan membuatnya terlihat kecil. "It's okay." Kata Kaia singkat, namun menenangkan.

Asta memperhatikan gadis itu dengan cermat.

Kaia memberikan dua plastik berisi camilan yang sebelumnya ia beli pada Asta sambil menganggukkan kepalanya dengan yakin, seperti apa yang ia katakan sebelumnya.

Pelan namun pasti, tangan Asta terulur. Menerima dua plastik berisi camilan itu.

Setelah memastikan Asta siap, Kaia segera membukakan pintu kamar Alta.

"Kai—Kak As... ta?" punggung Alta seketika menegang begitu yang ia kira datang Kaia, ternyata adalah kakaknya sendiri.

*

Sebelumnya, Alta tidak pernah merasa sedingin ini di kamarnya sendiri. Alta adalah tipe orang yang lebih menyukai AC yang diatur hangat ketimbang dingin. Menurutnya, kehangatan ruangan yang ada di sekitarnya membuatnya merasa lebih tenang.

Alta menunduk. Ia tidak berani mengangkat wajahnya sama sekali. Kedua tangannya meremas selimut yang menutupi kakinya dari pinggang. Perasaannya tidak tenang, rasa takut segera memenuhi dirinya. Kalau saja bisa, Alta ingin berteleportasi saat ini juga demi menghindari Asta.

Sementara itu, sang kakak dengan canggung berjalan mendekati adiknya yang duduk sambil meluruskan kakinya di atas ranjang. Kedua tangan Asta tampak sibuk dengan bawaan camilan yang sebelumnya Kaia beli untuk Alta. Begitu sampai di samping ranjang Alta, Asta baru menghentikan langkahnya sambil meletakkan dua plastik camilan di samping Alta.

Seketika Alta mendongak. Tidak percaya dengan apa yang Asta bawakan untuknya.

"Dari Kaia."

Alta kemudian menggigit bibirnya tanpa sadar sambil menatap ke arah pintu. Berharap sekali Kaia muncul sekarang. Sungguh, rasanya amat tidak nyaman berada di tempat yang sama dan hanya berdua bersama seorang laki-laki yang notabene adalah kakak kandungnya sendiri.

Rupanya, ketidak nyamanan, keresahan serta ketakutan yang Alta rasakan itu disadari dengan jelas oleh Asta yang secara terang-terangan memperhatikan adiknya. Tanpa disadari Alta, Asta mengepalkan kedua tangannya. Bukan karena marah pada Alta, kali ini Asta marah pada dirinya sendiri. Marah karena telah berbuat seburuk itu terhadap anak kecil di hadapannya ini.

Sejak peristiwa kemarin, tepatnya sejak mengetahui kalau penyakit Alta kumat tepat setelah Asta membentaknya, Asta jadi tidak tenang. Asta dihantui oleh rasa takut luar biasa. Takut akan kehilangan lagi seseorang untuk selamanya. Bayangan bagaimana mengerikannya rasa itu, kembali menghantui diri Asta hingga membuat Asta tidak bisa tidur.

Selagi merasakan ketakutan yang hebat itu, otak Asta dipaksa untuk memikirkan kembali apa yang telah ia lakukan pada Alta.

"Kai-Kaia mana?" tanya Alta pelan dan lirih sekali, sekaligus hati-hati, enggan menatap wajah Asta. Takut.

Decakan Asta yang terdengar di telinga Alta membuatnya merasa mengecil di hadapan sang kakak. Dalam hati, Alta merutuki dirinya sendiri. Alta yakin, habis ini pasti Asta akan membentaknya lagi seperti kemarin. Mungkin lebih parah.

Namun yang terjadi berikutnya amat sangat berbeda dari bayangannya. Tanpa Alta duga sama sekali, Asta menjatuhkan kepalanya di atas pangkuannya.

"Jangan bikin gue takut lagi." bisik Asta dengan tulus dan penuh penyesalan.

Sontak kedua mata Alta terbuka lebar mendengar ucapan sang kakak. Ini di luar dugaan. Sekalipun Alta tidak pernah membayangkan Asta akan mengatakan hal seperti ini.

ALASTAIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang