LX

1.4K 62 11
                                    

Sudah beberapa hari sejak Licia dan Asta pergi ke pantai kala itu. Hari yang Licia kira akan menjadi titik baliknya untuk bisa dimiliki Asta lagi, namun semua harapannya sirna dikarenakan hati Asta tak lagi untuknya. Rasanya sungguh sakit, sampai Licia tidak berhenti menangis berhari-hari.

"Sekarang gue jadi ngerti, gimana perasaan Asta saat itu, Meg. Saat gue mutusin dia, saat gue ngatain kata-kata kejam buat dia, saat gue nyia-nyiain perasaannya." Licia kembali menumpahkan air matanya, kali ini di hadapan Meg. "Sakit, Meg. Sakit banget." lanjutnya sambil meremas baju bagian dadanya.

Dadanya terasa sesak. Hatinya telah teriris, perih. Menyesal? Tentu saja.

"Kalo bisa, gue pengen muter waktu, kembali ke masa saat gue masih jadi pacar kesayangan Asta. Gue nggak mau ngerasain ini. Gue bener-bener menyesal, Meg." Tangis Licia kian pecah seiring dengan penyesalannya yang menggila.

Segera Meg merengkuh tubuh Licia, memeluknya dengan erat. Tidak banyak yang bisa Meg katakan untuk sekedar menghibur sahabatnya. Sebab Meg merasa, kalau apa yang Licia dapatkan adalah karma atas perbuatannya sendiri yang telah menyia-nyiakan seseorang yang tulus mencintainya. "Gue yakin, lo pasti akan segera menemukan kebahagiaan yang baru, Ci. Pasti."

Licia tak mampu berkata-kata lagi. Ia hanya bisa memeluk Meg dengan lebih erat, seraya meluapkan rasa penyesalan, kesedihan, sesak serta sakit yang ia rasakan.

*

"Duh, mentang-mentang dingin emang paling enak buat pacaran." Celetukan Rich membuat Kaia dan Asta sama-sama mendongak dari buku. Kedua remaja beda gender itu melihat Rich sedang berjalan ke arah mereka sambil bersiul usil.

"Gue lagi dikerjain, bukan pacaran." Seru Kaia sambil melirik Asta.

Hup! Rich hinggap duduk di samping Asta sambil meletakkan tangannya di atas bahu Asta. "Jadi kalian belum pacaran?"

"Belum." Berbeda dari Kaia yang tampak gusar, Asta malah menjawab pertanyaan itu dengan santai.

"Terus niatnya mau pacaran kapan?" tanya Rich lagi seolah tidak memedulikan Kaia.

"Oi, disini lo lo pada!" Setelah kedatangan Rich, Ilo dan kedua teman Asta yang lain juga muncul.

Kaia bersyukur dan mengeluh dalam hati dalam waktu yang bersamaan. Bersyukur karena Rich jadi berhenti bicara yang membuat perasaannya tidak keruan. Sekaligus mengeluh bukan karena moment berduanya bersama dengan Asta diganggu, tetapi karena kalau mereka berlima sudah berkumpul seperti ini, pasti ini bukan hal yang baik untuknya. "PR nya gue kerjain di kelas gue aja ya?" Kaia memohon pada Asta.

"Nggak." tolak Asta mentah-mentah.

"Please. Gue nggak bisa mikir kalo rame kayak gini."

"Emang kalo tenang, lo bisa mikir?" sahut Rich.

"Dikit."

"Wah, Kai, PR gue sekalian dong!" seru Ilo yang langsung hinggap di sebelah Kaia begitu sampai di tempatnya.

"Kalian ini, kebiasaan. PR itu pekerjaan rumah. Harusnya dikerjain di rumah, bukan di sekolah. Apalagi yang ngerjain orang lain." Oscar menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Tau tuh, temen lo." Kaia mengadu sambil mengedikkan dagunya pada Asta.

"Buruan kerjain!" perintah Asta kemudian pada Kaia agar Kaia kembali fokus pada PR-nya selagi dirinya asyik mengobrol bersama keempat temannya.

Kaia jadi nelangsa. Ia pikir masa-masa jadi pesuruh Asta sudah berakhir. Tapi ternyata tidak. Kaia masih tetap diperlakukan Asta dengan semena-mena.

"Iya, gue kayaknya bakal lanjut ke Belanda." Tibalah obrolan mereka dengan perkataan yang mencuat dari mulut Oscar. Yang membuat suasana mendadak sunyi. Kaia yang sedari tadi fokus mengerjakan PR Asta juga ikut berhenti menulis. Ia terkejut mendengar apa yang baru saja Oscar katakan.

ALASTAIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang