Sambil memperhatikan punggung Asta yang berjalan di depannya, Kaia terus menggeleng-gelengkan kepalanya. Sejak hari Minggu kemarin ketika tanpa sengaja ia melihat Licia bersama Ben di mall, berlanjut hingga kemarin ketika Asta ribut dengan Licia, sampai hari ini, Kaia masih tidak mengerti kenapa Licia bertindak seperti itu. Padahal sebelumnya sudah pernah terjadi kejadian yang mengerikan, dimana cowok yang diduga selingkuhan Licia sekarat karena Asta. Apa Licia tidak kapok? Apa Licia tidak takut? Atau memang Licia seberani itu pada cowok ini? Bagaimana kalau Asta sampai tau kalau Licia jalan dengan Ben? Bukankah nantinya bisa akan terjadi sesuatu yang lebih mengerikan? Siapa sih yang tidak tau kalau hubungan Asta dan Ben tidak baik?
"Ngapain lo ngekorin gue mulu?" tiba-tiba Asta berhenti, lalu membalikkan tubuhnya tepat di depan Kaia yang otomatis juga ikut berhenti. Ternyata dari tadi Asta menyadari keberadaan Kaia yang terus memperhatikannya.
"Ke kelas." Ujar Kaia menggelengkan kepalanya dengan polos.
Asta menunjuk papan kelas yang ada di depan pintu kelasnya, 12 IPA 2 yang kemudian diikuti oleh Kaia. Gadis itu pun segera menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Saking fokusnya memperhatikan Asta, sampai tidak sadar sudah melewatkan kelasnya. Dengan gerakan tanpa dosa, dia balik kanan. Siap pergi ke kelas 12 IPA 4, tempat seharusnya berada. Namun belum sempat melangkah, ranselnya tiba-tiba ditahan oleh Asta. Kaia segera menoleh tanpa bertanya. Masih dengan tiba-tiba, kemudian Asta menyeret ransel Kaia yang tentu saja secara otomatis Kaia ikut terseret. "E-eh, gue mau dibawa kemana?! Asta! Astaaa!"
Capek-capek naik ke lantai dua, Asta menyeret Kaia kembali turun ke gedung belakang lantai satu. Tujuannya adalah kantin. Di tempat yang setiap pagi bisa dibilang sepi, Asta mendudukkan cewek itu di salah satu kursi kantin sebelum dirinya juga ikut duduk di sebelah Kaia.
"Ngapain ke kantin?" tanya Kaia tidak mengerti dengan alis yang berkerut menatap cowok di sampingnya.
Cowok di sampingnya tidak menjawab. Malah dengan santainya ia menyulut rokok yang ia ambil dari saku celananya.
Karena tak kunjung mendapat jawaban, Kaia segera berdiri. Niatnya mau kembali ke kelas saja daripada tidak jelas pagi-pagi begini ia di kantin bersama dengan pacar orang. Namun lagi-lagi Asta menahan ransel Kaia. Dan untuk yang kedua kalinya, Asta kembali mendudukkan gadis itu di sampingnya. Kali ini dengan gerakan yang lebih keras sehingga Kaia merasakan sakit di tulang duduknya.
"Lo pfffh—!!!!" baru sepatah kata keluar dari mulut Kaia, dengan kurang ajarnya Asta memasukkan rokoknya ke mulut Kaia. Kaia yang kaget otomatis mendelik dan cepat menepis tangan Asta hingga rokok yang tadi sempat terhisap oleh Kaia nyaris saja jatuh kalau Asta tidak memegangnya dengan cukup erat. Karena ulah Asta, alhasil Kaia terbatuk-batuk. Seumur-umur, Kaia tidak pernah merokok. Mencoba menyelipkan rokok di bibirnya juga tak pernah ia lakukan. Jadi ini adalah pengalamannya yang pertama. Untuk itu, Kaia menatap kesal cowok itu sambil mengelap mulutnya dengan punggung tangan.
"Sapa tau pengen nyicip." kata cowok itu enteng sambil menyesap kembali rokok yang baru saja ia masukkan ke mulut Kaia.
Astaga! Cowok ini beneran gila! Sudah seenak jidat memasukkan rokok ke dalam mulutnya, gimana dia masih bisa menyesap rokok yang baru saja terkena bibirnya?
Kaia tidak habis pikir dengan cowok di hadapannya. "Mau lo apa sih sebenernya?" tanya Kaia pada akhirnya. Ia tidak lagi mencoba pergi seperti tadi. Kapok. Takut Asta akan bertindak yang lebih parah dari tadi.
Asta tidak langsung menjawab. Cowok itu membanting ransel yang sedari tadi ada di punggungnya ke meja. Lalu ia membukanya dan mengeluarkan dua buku dari sana. Satu buku latihan, satu lagi buku tulis yang masih kosong. Masih sambil merokok, Asta membuka buku latihannya yang masih rapi—efek tak pernah terjamah—dan berhenti sampai halaman 85. "Kerjain tugas gue nomor 1 sampe 50. Gue males kalo gue nggak ngumpulin kudu dengerin ceramah Si Siwa. Lo tau kan, tuh orang gimana sekalinya ceramah?" Asta melirik cewek itu sambil menyebut nama guru Biologinya yang cerewet dan gemar menceramahi siswa-siswanya.
Kaia melotot seketika, "Kenapa nggak minta sama Lanang aja? Lanang lebih pinter dari gue, dari lo apalagi."
"Dia nggak jauh beda sama Siwa."
Asta jadi ingat, pertama dan terakhir kali ia dan Ilo meminta contekan pada temannya yang paling pintar. Bukannya Lanang memberikannya secara cuma-cuma, cowok itu malah menatap sinis Asta dan Ilo sambil bilang, "Kita dilahirin sama-sama punya otak. Kenapa nggak kalian pake otak kalian sendiri? Manfaatin otak kalian, jangan disia-siain!" Hanya dalam hal itu, Lanang bisa menolak permintaan seorang Asta.
"Dia yang temen lo aja nggak mau, apalagi gue?" ujar Kaia sebal.
Asta memutar kepalanya hingga menghadap Kaia, "Kerjain, cepet!"
"Damn!" umpat Kaia lirih sambil melirik kesal cowok itu.
Asta yang mendengar umpatan hanya tersenyum miring, "Itung-itung latian buat masuk ke Johns Hopkins."
"Ya tapi nggak mepet juga. 8 menit lagi masuk. Soal sebanyak ini mana sempet!"
"Itu buat jam ketiga."
"Hah?" lagi-lagi Kaia terkejut. "Berarti lo punya waktu buat ngerjain sendiri kan?"
"Lo nggak liat gue lagi ngerokok?"
"Emang lo mau ngerokok terus sampe pelajaran ketiga?"
Asta mengedikkan bahunya cuek sambil terus merokok. Membuat Kaia makin kesal sekaligus pasrah. Kalau sudah seperti ini, tak ada pilihan selain menuruti kemauannya.
Terlihat Kaia kemudian membereskan buku-buku Asta. Ketika hendak memasukkannya ke dalam ranselnya, Asta segera mencegahnya. "Mo kemana?"
"Gue kerjain di kelas."
"Capek-capek gue seret lo ke sini, lo bilang mau ngerjain di kelas?"
"Sebentar lagi masuk. Nggak mungkin gue—"
"Kerjain sekarang! Disini!" potong Asta tak terbantahkan membuat Kaia nelangsa dengan nasibnya sendiri. Padahal di jam pertama kelasnya ada pelajaran Matematika. Kebetulan materi yang akan dibahas kali ini memasuki materi yang baru. Apa jadinya jika Kaia absen di pelajaran itu.
Gadis itu sudah diam. Mulai mengerjakan tugas Asta dengan konsentrasi yang bisa dibilang cukup tinggi. Sebab Kaia ingin tugas itu cepat selesai. Ia tidak mau ketinggalan pelajaran Matematika banyak hari ini.
Bel berbunyi. Soal baru berhasil Kaia kerjakan sebanyak 14. Ia melirik cowok di sampingnya. Berharap Asta berubah pikiran. Sayangnya itu tidak akan mungkin. Asta malah sama sekali tidak menghiraukan Kaia. Cowok itu terlihat sedang membaca buku yang Kaia kenal. Segera Kaia rebut buku yang sedang Asta baca. Itu adalah bukunya, Guide To The Johns Hopkins University School of Medicine. Kaia melirik cowok itu dengan kesal. Sudah membuatnya susah pagi ini, lalu cowok itu seenaknya mengambil buku dari ranselnya.
"Pelit amat sih, nggak bakal gue makan." Ujar Asta merebut buku itu dari tangan Kaia. Cowok itu kembali membaca buku itu. Kali ini Kaia membiarkannya. Percuma juga kalau cowok itu sudah ada mau. Jadi daripada terganggu karena Asta, lebih baik Kaia kembali berkonsentrasi mengerjakan tugas.
"Udah sampe mana?" Asta kembali bersuara setelah kurang lebih 3 menit diam.
"Nomor 18."
"Perkembangan lo buat masuk Johns Hopkins."
Untuk sejenak Kaia berhenti menulis. Dia pikir Asta bertanya tentang tugasnya, "Mmm, sampe situ." Jawab Kaia asal. Ia sendiri tidak tau sudah sampai mana perkembangan dirinya.
"Lo pengen jadi dokter?" tanya Asta lagi.
"Iya."
"Kenapa?"
"Karena gue pengen bantu nyembuhin orang sakit." jawab Kaia mantap. Ia menoleh, menatap Asta yang juga menatapnya.
Asta memiringkan kepalanya sedikit mendengar ucapan Kaia serta melihat cara cewek itu berucap. Begitu mantap dengan matanya yang berbinar. "Tapi gimana kalo seorang dokter yang kata lo bisa nyembuhin orang sakit, justru ngebunuh orang?"
Alis Kaia segera menyatu, "Maksud lo?"
Asta enggan mengucapkan kata-kata yang sama dua kali, enggan juga untuk menjelaskan lebih rinci. Yang ia mau adalah jawaban Kaia.
"Maksud lo bukan bener-bener ngebunuh orang kan? Maksud lo nggak bisa nyembuhin orang sakit kan? Dokter itu manusia, nggak bisa nentuin hidup mati seseorang. Itu wewenang Tuhan. Dokter hanya bisa berusaha dan membantu."
"Ini ngebunuh dalam arti yang sebenernya." Tukas Asta membuat Kaia terdiam seketika.

KAMU SEDANG MEMBACA
ALASTAIR
Jugendliteratur(COMPLETE) Dia adalah seorang pemuda yang mendekati sempurna secara fisik, namun minus secara akal. Dia tampan, tetapi arogan. Dia tinggi, tetapi suka semaunya sendiri. Dia memiliki tubuh yang wangi, tetapi egonya tak tertandingi. Dia berasal dari k...