IX

3K 104 8
                                    

Ben berdecak kesal karena lagi-lagi harus menyaksikan kebersamaan Asta dan Licia. Setiap hari melihat sepasang kekasih itu, membuat hati Ben jadi sakit bertubi-tubi. Andai saja semudah itu merebut Licia dari Asta, pasti saat ini Licia sudah ada di sampingnya.

"Apa sih kelebihan tuh cewek?" Dengus Faolan yang duduk di sebelah Ben yang berdiri.

"Pertanyaan yang sama soal si cebol." balas Ben sambil menyeringai.

Faolan menutup majalah sport yang sedari tadi ia baca. Ia berdiri sambil memukulkan majalah itu ke dada Ben kemudian pergi begitu saja. Lalu ia menuruni tangga meninggalkan bangunan barat yang merupakan kawasan kelas IPS menuju ke bangunan timur, dimana bangunan tersebut merupakan kawasan kelas IPA seperti dirinya.

Sepeninggal Faolan, Ben kembali dilanda kekesalan. Ia buntu, tidak tau harus berbuat apa untuk merebut Licia dari Asta. Padahal ia pikir dengan iming-iming kebebasan pada Licia, akan membuat Licia lari padanya dari Asta, ternyata tidak. Malah sekarang Ben dengar kalau Asta sudah memberi ijin pada salah satu teman Licia untuk kembali berteman dengannya.

"Kenapa lo pagi-pagi udah kayak orang bego?" tegur Mera tiba-tiba muncul.

Ben mendongak, menatap cewek dengan seragam kekecilan yang berdiri di sampingnya. Sebuah umpatan kasar segera meluncur dari mulutnya.

Mera mendecih, sama sekali tidak tersinggung dengan umpatan Ben. Ia duduk begitu saja di samping Ben. Satu pahanya ia naikkan ke pahanya yang lain, kontan membuat roknya jadi terangkat. Tangannya mengorek-ngorek isi tas selempangnya. Begitu menemukan rokok yang ia cari, ia langsung menyulutnya. Tidak peduli itu ia lakukan di depan kelasnya. "Mau?" ia menawarkan sebatang rokok pada Ben. Tanpa menunggu jawaban Ben, cewek itu melempar satu batang rokok lengkap dengan pemantiknya ke pangkuan cowok itu.

Baru sekali ia menyesap rokoknya, salah satu teman sekelas yang terkenal rajin lewat hendak memasuki kelas. Anak berkacamata tebal yang selalu sendirian itu otomatis terkejut melihat tingkah Mera meskipun sudah berulang kali. "Apa lo liat-liat? Mau gue sulut pake rokok?" seru Mera galak sambil menaikkan dagunya tinggi. Anak itu pun segera ngacir. Memang lebih baik tidak usah berurusan dengan yang namanya Mera.

Ben yang hanya diam tak tertarik dengan Mera maupun anak berkacamata tadi, memutuskan ikut merokok bersama cewek itu.

"Gila karena nggak bisa dapetin Cia? Gue juga, gila karena nggak bisa-bisa dapetin Asta." Mera mulai berbicara pada Ben setelah sebelumnya sempat mendengus pada anak tadi.

"Orang gila kayak dia apa yang lo harepin?" dengus Ben meremehkan.

Mera mengepulkan asap rokok lewat mulutnya ke arah Ben, "Menurut lo?" gadis itu tersenyum miring. Membuat Ben jijik karena ia paham betul apa yang ada di otak cewek itu. Satu umpatan yang apabila ditujukan ke cewek lain pasti akan tersinggung dan marah, lagi-lagi meluncur dari mulut Ben. Sedangkan Mera, tertawa ngakak seolah hal itu lucu sekali.

*

Ada yang aneh dari Licia yang bisa Meg lihat hari ini. Hari ini Licia tampak lain, tampak cerah. Meg jadi heran sekaligus bertanya-tanya, apa yang terjadi pada temannya sampai bisa seperti ini. "Habis nonton konser, lo ngapain aja sama Asta? Cerah bener muka lo."

Licia langsung mengangkat wajahnya dari ponsel, "Hah? Lo bilang Asta?"

"Kalo bukan Asta, terus siapa?" alis Meg mengerut karenanya.

Licia merapatkan duduknya pada Meg, lalu ia berbicara dengan suara kecil, agar tidak ada yang bisa mendengar pembicaraannya, "Kemaren pas nonton konser, nggak sengaja gue ketemu temen SMP gue yang namanya Marvin, terus dia minta gue follback IG-nya."

ALASTAIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang