Kaia sedang duduk sendirian di depan ruang dokter rumah sakit Kan-Ro ketika Alta melihatnya lalu menghampirinya. Anak yang masih berseragam SMP itu mengambil posisi duduk di samping Kaia. "Lagi ngapain?" Alta bertanya pada Kaia sambil menunjuk ruangan dokter tak jauh di depannya. Ruang tersebut bukan lain adalah ruangan milik ayah Alta.
"Nemenin kakak lo. Katanya mau ketemu sama papanya."
Alta melebarkan kedua matanya. "Kak Asta ketemu sama papa?" Alta kira Kaia akan berkonsultasi masalah kesehatan pada papanya.
Kaia mengangguk sambil memperhatikan Alta yang tampak senang dan terharu. Sebab, setelah lima tahun, akhirnya Asta bersedia untuk bertemu dengan papa terlebih dulu.
"Ini pertemuan pertama Kak Asta sama papa secara sengaja setelah bertahun-tahun. Lo tau?" kata Alta tersenyum senang bukan main.
Kaia kembali mengangguk.
"Akhirnya yang gue tunggu terjadi juga. Dulu gue selalu bermimpi kalo suatu saat kak Asta dan papa bisa menyudahi perang dingin mereka."
"Ya, gue rasa impian lo udah terkabul." Timpal Kaia ikut tersenyum. Ikut senang mendengar cerita Alta.
Untuk beberapa saat keduanya diam, hanyut dalam pikiran masing-masing. Mata mereka sama-sama tertuju pada ruangan di depan mereka.
"Jadi udah sejauh mana hubungan lo sama kak Asta?" pertanyaan Alta yang tiba-tiba membahas hal lain membuat Kaia terkejut.
"Bukannya tadi lagi bahas papa lo?"
"Lo udah pacaran sama kak Asta kan?" tembak Alta yang beberapa hari lalu sering memergoki kakaknya sering tersenyum-senyum sendiri ketika melihat layar ponsel. Terlebih Alta pernah mendengar sendiri pernyataan Asta tentang rencana kuliahnya beberapa waktu lalu.
Asta bilang, "Gue nggak mau jauh dari Kaia. Gue nggak bisa. Jadi daripada gue nahan dia biar nggak pergi ke Amerika, mending gue yang ikut dia ke Amerika."
"Mmm, ya." Jawab Kaia sambil menatap ke arah lain. Sudahlah, tidak baik berkelit. Lebih baik Kaia memilih jujur.
"Baik-baik ya, sama Kak Asta. Jangan sakitin dia, jangan tinggalin dia." Pesan Alta sambil memperhatikan Kaia yang masih menatap ke arah lain.
"Lo ngomong itu ke gue doang? Ke kakak lo ngomong juga nggak?" Kaia kembali menatap Alta sambil menaikkan satu alisnya.
Alta menggelengkan kepalanya. "Kak Asta orang yang paling tau gimana sakitnya ditinggal, gimana sakitnya kesepian, gimana sakitnya sakit." Terselip wajah sedih pada diri Alta ketika mengatakan perkataan itu.
Kaia langsung menelan ludahnya. Padahal maksud Kaia tidak se-dark ini.
"Janji sama gue?" anak SMP itu mengulurkan tangannya. Meminta berjabat tangan dengan Kaia sebagai simbol perjanjian antara dirinya dan Kaia.
"Ya, janji." Kaia membalas uluran tangan Alta.
Alta tersenyum. Tampak senang. Kaia jadi ikut senang melihat adik pacarnya senang.
Selanjutnya, Kaia melihat senyum Alta berubah. Dari senyum bahagia, menjadi senyum aneh dan nakal. Yang makin membuat Kaia yakin, Alta tidak melepas tangan Kaia meski Kaia sudah menarik tangannya.
"Satu hal lagi." katanya.
Kaia mengerutkan kening, "Apa lagi?"
Tanpa sempat berpikir atas apa yang Alta akan katakan padanya, Kaia lebih dulu merasakan sentuhan bibir Alta di pipi kirinya. Cepat dan singkat.
Langsung Kaia melotot pada Alta setelah hal itu terjadi tanpa bisa dicegah olehnya. "Alta!"
Namun Alta tidak merasa bersalah atau takut karena telah mencium pacar kakaknya dan dimarahi setelahnya. Alta malah menikmatinya. "Janji jangan bilang-bilang kak Asta ya? Ini rahasia kita." Cowok itu malah tersenyum tengil.
Sontak Kaia ingin mencakar anak SMP itu. Kesal sekaligus merasa dipermalukan.
"Ayo." Tiba-tiba Asta muncul di tempat Kaia dan Alta berada dan langsung mengajak Kaia pulang.
Kaia yang terkejut sontak berdiri dari duduknya. Ia cukup gugup karena takut kalau sampai tadi Asta melihat perbuatan adiknya. Bukannya gimana-gimana, Kaia tidak ingin karena itu Asta dan Alta bermasalah lagi.
Tangan Asta terulur mengacak rambut Alta yang berdiri di depannya. "Minggu depan kita jadi makan bareng bertig—berempat." Katanya mengingatkan janji yang sebelumnya pernah ia buat untuk makan malam bersama dengan Kaia di rumah.
"Berempat siapa aja, Kak?" Alta mengernyit bingung.
"Kita bertiga..." Asta mengedarkan matanya pada Alta dan Kaia, lalu pada seorang pria paruh baya tak cukup jauh di belakang Alta, "Papa."
Alta teramat senang mendengarnya. Sampai-sampai sulit percaya. Benarkah kakaknya sudah mau makan dalam satu tempat yang sama dengan papa? Benarkah Asta sudah membuka hatinya kembali untuk papa? Jika benar, maka ini akan menjadi hari bersejarah sekaligus hari yang paling Alta tunggu. "Siap, Kak!" Alta mengangguk antusias.
Setelah itu, Asta mengisyaratkan Kaia untuk pergi. Namun sebelum jauh, Asta berhenti dan membalikkan badannya. Hal itu juga diikuti oleh Kaia yang bertanya-tanya apa yang akan Asta lakukan atau katakan lagi kepada adiknya?
"Jangan lupa pulang ke rumah." Ternyata Asta mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang amat sangat menyejukkan hati, yang ia tujukan pada adik dan papanya.
*
"Ta, gue kepo nih. Lo nggak mau ngasih tau gue, barusan lo ngobrolin apa sama papa lo?" tanya Kaia hati-hati ketika sudah berada di dalam mobil yang masih terparkir di tempat parkir rumah sakit. "Tapi kalo nggak mau ngasih tau juga nggak papa sih." lanjut Kaia cepat sambil memasang seat belt.
Kedua tangan Asta terulur ke setir. Meremas setir itu dengan mata yang tertuju ke depan. "Konsultasi."
Punggung Kaia langsung menegak, matanya melotot. Tangannya refleks memegang erat lengan Asta, "Lo sakit jantung? Duh, Ta. Gue belum mau pisah secepet ini sama lo. Soalnya pasti ntar gue jadi bahan bully di sekolah. Jadi please, lo jangan dulu sakit-sakitan."
Lirikan kesal Asta segera Kaia terima. "Otak lo ini beneran tumpul apa gimana?" Asta mengetuk-etuk kepala Kaia dengan telunjuknya.
"Ya omongan lo jangan menggiring opini gue ke arah itu dong!"
Asta kembali menarik tangannya dari kepala Kaia sembari menghembuskan nafasnya pelan. "Konsultasi kuliah."
Kaia terdiam. Sejujurnya Kaia tidak ingin membahas itu ketika bersama dengan Asta. Karena itu membuat hatinya galau.
"Udah gue putusin, gue mau ke MIT. Sesuai saran bokap."
Sepertinya Kaia sedang kelebihan hormon saat ini. Ia yang memang biasanya aktif, sekarang cenderung jadi agresif. Tadi ia memegang erat lengan Asta, sekarang ia memegang kedua pipi Asta dengan kedua tangannya yang erat dan memaksa cowok itu untuk menghadap ke arahnya. "Gue nggak salah denger kan? MIT? Massachusetts Institute of Technology?"
Asta hanya bisa mengangguk.
Kaia menarik nafasnya dalam-dalam. Ia terlalu senang, sampai-sampai ia bersorak. Asta hanya membiarkannya. Tak bisa melarangnya. Sebab Asta juga senang.
"Tapi kenapa tiba-tiba lo mutusin MIT?"
"Karena lo. Tapi nggak semuanya. Gue liat Lanang, Oscar sama Ilo juga udah nentuin jalan mereka masin-masing. Keputusan mereka buat lanjut ke luar bikin gue merasa tertinggal sekaligus termotivasi. Gue coba gali minat gue, gue nggak tau. Itu sebabnya gue dateng ke papa." Baru sekali ini Kaia mendengar Asta bicara sepanjang itu.
"Dan lo udah dapet jawabannya." Lanjut Kaia.
Asta menoleh, menatap gadis yang terlihat bahagia. "Gue udah kalah start sama lo. Jadi mungkin gue butuh usaha yang lebih ekstra dibanding lo. Skenario terburuknya, bisa-bisa lo pergi duluan dibanding gue." Ucapnya sambil meraih tangan Kaia, lalu menggenggamnya erat di atas pangkuannya.
"Lo pasti bisa! Kita pasti bisa! Kita usaha bareng-bareng, Ta." Gadis itu membalas genggaman tangan Asta dengan genggaman yang lebih erat. Wajahnya yang mungil, memperlihatkan sebuah senyuman. Senyuman menenangkan dan menyejukkan yang paling Asta sukai setelah senyuman ibunya.
"Ngomong-ngomong, buku-buku yang dulu lo pinjem dari gue, udah selese?"
** TAMAT **
![](https://img.wattpad.com/cover/227788650-288-k119352.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
ALASTAIR
Teen Fiction(COMPLETE) Dia adalah seorang pemuda yang mendekati sempurna secara fisik, namun minus secara akal. Dia tampan, tetapi arogan. Dia tinggi, tetapi suka semaunya sendiri. Dia memiliki tubuh yang wangi, tetapi egonya tak tertandingi. Dia berasal dari k...