Fifty-One

353 51 19
                                    

"Bagaimana gue bisa membuang kenangan, tapi lo selalu ada dalam bayangan?"

~Abdurrzyheab Hafiz~

_14 Maret

🌼🌼🌼

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

~Oman Cafe, 16.45 WIB~

Paparazi?

Cekrek!

Ali memalingkan wajah. Ah, tidak, kenapa beberapa hari belakangan ini banyak kamera yang mengarah padanya? Mereka tersenyum senang saat bertemu Ali, bahkan tidak jarang dari mereka meminta tanda tangan serta foto bareng. Tentu hal itu membuat Ali mengeryitkan dahi, heran akan orang-orang yang banyak me dekatinya dan mereka begitu ramah tamah.

Tapi, Oman jadi tambah rame ...

Lihatlah beberapa pengunjung Oman Cafe. Di saat hujan mengguyur pun mereka masih datang berbondong. Tapi mata mereka terlihat celingak celinguk mencari sesuatu. Ah, Ali tau, mereka tentu mencari dirinya. Dalam tiga hari saja cowok itu sudah hafal pada gerak gerik yang mencurigakan dan akan membuat dirinya repot sampai satu jam lebih. Lebih baik ia mengawasi dari belakang, mengintai dari jendela gelap dapur yang terlihat samar dari luar.

"Wah, Ibu mau foto bareng juga sama Den Ali, buat kenang-kenangan bisa foto sama penyanyi yang lagi naik daun," celetuk Bu Ning tersenyum.

"Ada-ada aja, Bu Ning," kekeh Ali sebelum Bu Ning hanya membalas dengan tawa dan beralih pada masakannya.

"Bang Nevan! Dua es jeruk dan dua choco lava!" seru Syafa, berbelok dari arah kasir ke arah dapur, disambut riang oleh Nevan dan Aisyah yang sedang duet membuat pesanan.

Syafa mengembangkan sebelah pipinya, mengangkat alis kanannya dan mendorong kursi agar mendekat pada dinding yang memisahkannya dengan Ali. Mengetuk dua kali pada kaca hitam yang di seberang sana duduk seorang Ali di dalam dapur.

Ali mengeryit bertanda tanya. Syafa membuka kaca hitam itu dengan menariknya ke atas. Namun baru separuh kaca itu terbuka, tangan Ali menahannya.

"Jangan dibuka," ucap Ali.

Syafa menyengir, "Cieee, artis Oman! Banyak paparazi di sini, jadi elo ngumpet di dapur. Ya, kan?"

Ali mengerlingkan mata. Tentu ucapan Syafa semuanya benar. Yeah, selain itu ia juga tidak boleh terlalu banyak gerak karena banyak jahitan di tubuhnya yang belum mengering. Lagi pula Ali belum bisa banyak membantu selagi kakinya belum sembuh dan masih bergantung pada tongkat ellbow yang dipinjamkan Nevan padanya.

"Santai aja. Lo kagak keliatan karena ditutupi meja kasir, kok. Lagian walau keliatan juga mereka cuma bisa liat dari depan kasir. Kalo mau difoto, yah, lo tinggal ngelak aja," tutur Syafa santai, lalu mengambil setoples kecil kacang atom.

"Kenapa mereka jadi seperti itu? Rasanya setelah kepala gue terbentur, gue kayak ada di dimensi lain," ucap Ali.

Syafa menaruh toples itu di sebelahnya, lalu bertopang dagu. Ali hanya mengangkat sebelah alisnya, bertanya pada pandangan Syafa yang menatap tajam dirinya sembari tersenyum manis.

"Apa?" tanya Ali sedikit risih.

"Menurut lo, kenapa tiba-tiba jadi begini?" tanya Syafa balik.

Ali diam. Pertanyaan Syafa adalah pertanyaan Ali juga. Namun melihat ukiran senyum tipis Syafa, Ali tau bahwa Syafa menyimpan jawabannya sendiri.

Oman Cafe [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang