Nine

570 45 4
                                    

"Kalo kita berteman sama penjual minyak wangi, maka kita akan wangi. Begitu pula jika kita berteman dengan penjual bensin, maka kita akan bau bensin,"

~Umi Ahya~

~5 Jul

🌼🌼🌼

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

"Assalamu'alaikum," salam Ali ketika memasuki rumah.

Cowok itu mendorong sedikit keras pintu kayu rumah tersebut agar mau tertutup rapat. Entah mengapa pintu itu sekarang sulit ditutup jika tidak memakai sedikit tenaga.

Ali menghela napas. Kepalanya masih sedikit berdenyut namun sudah bisa dibawa berjalan. Setidaknya ia fokus mengendarai motor dengan pelan. Beruntung pula ia sampai pas sekali dengan hujan yang turun deras. Ia hanya mendapati rintik-rintik sebagai gerimis yang membasahi jaket hijaunya. Entahlah, mungkin sekarang sudah memasuki musim hujan.

Tok! Tok! Tok!

"Umi, ini Ali," ucap Ali setelah mengetuk pelan pintu kamar kayu di depannya.

"Masuk aja, Nak ..."

~Umi Nur Ahya--Ibunda Ali dan Aisyah~

Ali tersenyum ketika telinganya mendengar perkataan lirih dari wanita yang sudah melahirkan serta membesarkannya tersebut. Ia membuka pelan pintu kamar itu, dan masuk serta mendekat pada seorang wanita paruh bayah yang duduk di samping tempat tidur. Rutinitas setiap hari yang ia lakukan pertama jika pulang ke rumah adalah menemui ibunda tercinta.

"Udah pulang? Rasanya ini bukan jadwal pulang, ya?" tanya perempuan itu.

Ali mencium punggung tangan Umi Ahya, lalu mengangguk mengiyakan pertanyaan kecil itu. "Iya. Kami tutup Oman lebih cepat. Kayaknya Kak Haf ada perlu,"

Umi Ahya tersenyum, "Bertemanlah baik dengannya. Dia istimewa, jarang ada orang sebaik Hafiz,"

"Tentu saja," sahut Ali.

"Kalo kita berteman sama penjual minyak wangi, maka kita akan ikut wangi. Begitu pula jika kita berteman dengan penjual bensin, maka kita akan bau bensin." Ucap Umi Ahya. "Dari pertama liat Hafiz, Umi bahkan udah kecium kalo dia lebih wangi daripada penjual minyak wangi,"

Ali tersenyum, "Aamiin. Ngomong-ngomong, Umi udah minum obat Umi?"

Umi Ahya tersenyum, lalu mengangguk single parent yang membesarkan tiga anak sekaligus itu, memapah hidup pada Ali yang kini menjadi tolak punggung keluarga. Ia sudah tidak sanggup untuk bekerja lagi karena keadaannya yang kini sakit-sakitan. Dulu, beliau bekerja sebagai katering penerima makanan, namun sekarang Ali meminta berganti profesi untuk menjadi ibu rumah tangga seutuhnya agar keadaannya lebih membaik. Tapi Umi Ahya masih menerima katering dalam jumlah kecil, dibantu dengan Shela.

Mengayomi Aisyah dan Shela, adik yang paling kecilnya, sudah menjadi kewajiban bagi Ali sendiri. Menjadi laki-laki dewasa di rumah yang kecil itu adalah sebuah keharusan yang dimiliki Ali. Tanggungan hidup yang ia dapat melalui pekerjaan seadanya itu, Alhamdulillah mencukupi keadaan sehari-hari. Setidaknya, Aisyah dan dirinya sendiri bisa meringankan beban Umi Ahya karena beasiswa yang mereka dapat dan tidak berbayar pada pendidikan mereka. Mungkin hanya Shela saja yang masih SD berbayar. Namun anak kecil itu juga sudah menunjukkan bakat kepintaran yang dituruni dari kakak-kakaknya.

"Shela tidur?" tanya Ali ketika melihat perempuan kecil itu tidur pada matras di samping ranjang Umi Ahya.

Umi Ahya mengangguk, "Dia bermain sepanjang hari, ngebantu Umi sama Aisyah masak juga. Mungkin kelelahan. Insyaallah berkah untuknya,"

Oman Cafe [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang