Fiveteen

480 35 4
                                    

"Jatuh hati tidak dapat memilih. Tuhan yang memilihkan, kita cuma korban yang merasakan. Bahagia itu merupakan bonus. Kecewa adalah konsekuensinya,"

~Aydrus Ali Haeddad~

4 Agustus

🌼🌼🌼
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

"Wah, congrats, guy's! Gelar Sarjana Kedokteran udah di depan mata, nih!" Zyan menaik turunkan alisnya.

Hafiz tersenyum. Ia pun senang karena mendapat undangan untuk melakukan program profesi koas di rumah Sakit Farisi, rumah sakit terbesar di kota itu. Begitu pun langkahnya untuk menjadi seorang dokter ahli semakin dekat. Hanya menghitung bulan dan menyelesaikan skripsi, ia dan dua sohibnya itu akan menyelesaikan S1 dan melakukan wisuda, lalu mendapat gelar S.ked alias menjadi seorang Sarjana Kedokteran. Lalu, melanjutkan koas.

"Perjalanan lo pada masih jauh untuk jadi dokter, Bahlul! Jangan seneng dulu," ucap Alfa.

"Lo di ujung, ya, Zyan?" tanya Alfa.

Zyan menghembuskan napas, "Iya. Tapi gak apa, sih. Di dekat sana ada cabang apartemen Bokap, jadi gue bisa nginep di sana,"

Hafiz melirik, "Lo langsung terjun ke Dirgantara, Al? Yakin gak lanjut dokter?"

Alfa mengangguk. "Abi, kan, pensiun. Gak apa, sih,"

"Sayang banget sebenernya ..."

Zyan menyahut, "Pak Direktur, jangan sembarangan memimpin, ya!"

Alfa terkekeh, "Ya udah. Mau balik, gak? Udah sore banget ini,"

Hafiz melirik jam tangannya, "Jam empat sore,"

"Lapeeer!"

Hafiz menoleh, "Beli saja makanan,"

Zyan menyipitkan mata, "Btw, kok, lo gemukan, sih, Haf? Orang gue stres semester akhir gini, jadi ngurus,"

Hafiz mengeryit, "Perasaan gue biasa-biasa aja?"

"Gue aja stres," kekeh Alfa. Tentu saja, memikirkan skripsi akhir dan kelulusan, memikirkan Dirgantara, dan ditambah memikirkan seorang istri.

"Al, ikut, nyok! Sekalian lo beliin Si Nau makan."

"Gak, ah. Ntar aja," sahut Alfa. "Pekerjaan kantor udah mulai padat, ada beberapa hal yang harus dikerjain juga,"

"Ya sudah, pulang aja. Sumpah, di sini lama-lama serem ..." Zyan memegang belakang lehernya. Tentu saja ia ingat kejadian mistis yang pernah ia alami sore hari di Fakultas Kedokteran itu. Apalagi, sekarang benar-benar sepi karena hari minggu.

Hafiz mengangkat sebelah alisnya, "Jangan bilang lo takut, Zyan?"

"Sorry, takut? Heh, yang ada mereka bakal takut sama gue," Zyan berkacak pinggang, menoleh kanan dan kiri dengan wajah sombongnya.

Alfa hanya ber-oh ria sebelum tangannya mengetuk pelan jendela kaca di belakangnya, membuat Zyan otomatis berteriak dan memeluknya erat.

"Lepas, eh, Bangkeee! Geli gue!" seru Alfa sambil menjauhkan kepala Zyan yang mengusel dadanya.

Hafiz tersenyum, lalu melirik langit yang mendung. Sepertinya Syafa udah pulang, ya?

🌼🌼🌼

Mata Ali mendatar, "Pulanglah ..."

"Lagi pesen ojeeek! Mesen ojek, hei! Tapi gak dapet-dapet dari jam tiga tadi! tau gak, sih?!" kesal Syafa.

Ali menghela napas. Ia sudah menutup Oman Cafe sejak jam tiga tadi, tapi tidak bisa meninggalkan bangunan kecil itu jika Syafa masih ada di dalam. Tidak mungkin ia mengunci Syafa di dalam sana atau menyerahkan kunci Oman kepadanya. Dari tadi pula Syafa tidak mendapatkan ojek online-nya.

Oman Cafe [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang