Five

571 43 6
                                    

Kadang, perasaan iba muncul ketika mata melihat orang-orang yang membuat diri sendiri bersyukur atas apa yang kita miliki.

~Syafana Aliyya Farisi~

14 June

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Ting!

"Aaaliii!"

"Heh, Arif! Suara lo menggelegar kayak geledek, tau gak?!" Alina menjambak ujung rambut atas telinga Arif sehingga cowok itu meringis.

Rizan mengeryit, "Sadis amat, sih, jadi cewek? Gak bisa lembut-lembut dikit, apa?"

"Gak!" galak Alina, lalu menoleh ke depan. "Lho, bukan Ali?"

"Lha, Kak Hafiz?" tangan Arif menunjuk, "Bukannya Kak Haf praktek otw koas, ya?"

Cowok yang berdiri di kasir itu menyunggingkan senyuman, "Ali belum datang,"

~Abdurzyehab Hafiz--Kedokteran~

"Eh? Dia udah balik satu jam yang lalu. katanya mau ke Oman," ujar Alina.

Hafiz mengulum senyuman, "Mungkin ada kendala selama perjalanan. Kalian duduk saja dulu. Ada yang mau dipesan?"

🌼🌼🌼

"E-eh, gak perlu, Kak Ali. Gue bisa pulang sendiri," ucapku. Yakali dianter cowok? Jika Labib tau maka siap-siap saja aku jadi perkedel.

"Terus, kalo premannya balik lagi?" Ali mengangkat sebelah alisnya.

Iya juga, bagaimana jika preman kusut itu kembali lagi karena misinya belum berhasil? Ini saja aku sedang beruntung karena bertemu dengan Ali, maka preman itu kabur karena Ali bisa melumpuhkannya. Jika dia melihatku sendirian lagi pasti akan beraksi lagi. Tidak, tidak, aku tidak ingin terancam lagi apalagi sampai ada korban berdarah. Cukup Ali yang lengannya sudah tersayat karena melindungiku dari cutter tajam preman itu.

Ali menghela napas, "Kalo gitu gue duluan. Assa---"

"Eeeh! Bentar dulu, dong ... Iya, gue mau pulang sama elo," ujarku.

Ali berdiri, "Motor gue di sebelah sana. Lo tunggu bentar di sini,"

Aku mengangguk, mengiyakan perkataan Ali dan cowok itu pergi mengambil motornya. Aduh, bagaimana ini? Keadaan seperti ini membuatku canggung. Aku pernah dua kali berboncengan motor dengan Ramzi, dan itu pun aku sudah senam jantung. Apalagi dengan Ali. Dan jika sampai di rumah lalu Mamah Hafsah lihat--

"Kenapa bengong?" tanya Ali. Oh, ternyata dia sudah sampai dari mengambil motor matic-nya. "Bisa jalan ke sini, kan?"

"Ya, bisalah. Ke situ doang," ucapku. Namum sepertinya kakiku sangat lemah sehingga diri ini hampir terjatuh jika tidak ada pohon di sebelahku sebagai pegangan pribadi.

"Eh, hati-hati," ucap Ali, "Hm, mau dibantu?"

Aku menggeleng keras. Dari suaranya saja dia terlihat ragu untuk membantu perempuan yang bukan mahromnya. Dan juga aku grogi jika cowok super bad cool itu membantuku. Hiiiy, merinding!

"Emang Kak Ali kira gue ketabrak mobil sampe gak bisa naik motor sendiri?" tanyaku kecut sambil menaiki motor matic milik Ali.

"Enggak, cuma ngira lo ketabrak motor aja," sahutnya santai sambil mulai melajukan motornya.

Hei, mau bercanda, ya?

Aku mendengus. Cowok ini memang sangat garing sekali. Keadaan diam seperti ini membuatku canggung padanya, tapi apa yang bisa aku lakukan? Aku menaruh ranselku ke depan sebagai penghalang antara diriku dengan Ali.

Oman Cafe [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang