Thirty-Seven

384 41 6
                                    

"Musik itu interaksi dengan siapa kita berkarya dan untuk apa kita berkarya,"

~Nevan~

_21 Desember


🌼🌼🌼

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

"Sejujurnya ..." Alfa membuang napas, "Abinya nelpon tadi pagi,"

Zayra melirik. Kala itu dirinya berkumpul bersama Haikal, Alfa, dan Naurra di depan kamar atas. Zayra yang menekan Haikal agar segera menanyakan keberadaan Hafiz pada Alfa, akhirnya melakukan hal itu. Dan jawaban Alfa tentu membuat Zayra membelalakkan mata, dan membuat Haikal mengeryitkan dahi.

"Abinya nitip omongan buat Hafiz kalau beliau sama istrinya bakal berangkat ke Jogja pagi tadi, soalnya mereka nelpon gak diangkat. Yah, mereka kira Haf sibuk di rumah sakit, gue juga mikir gitu," jelas  panggilannya tidak diangkat.

Haikal mengacakkan rambutnya, "Ke mana bocah itu, sih? Rese' banget,"

"Apa kita lapor polisi saja?" usul Naurra.

Alfa langsung menggelengkan kepalanya, "Jangan, kita belum tau pasti tentang keadaan ini. Lagipula ini belum dua puluh empat jam untuk dilaporkan sebagai kasus orang hilang,"

"Gue tidak ingin beritahu ini pada orang tuanya Hafiz dulu. Mereka lagi pergi ke Jogja untuk dua minggu karena Jidah Hafiz sakit di sana. Selama waktu itu, kita berusaha untuk mencarinya. Berdoa saja untuk kebaikannya," ujar Alfa lagi.

🌼🌼🌼

~11.10 WIB~

Kling!

Ali menoleh ke kanan dan kiri. Itukah yang namanya studio? Tidak terlalu besar dan tidak pula kecil. Namun, ruangan dengan kaca besar di sebelah kiri itu menyita perhatian Ali. Wah, bukankah itu ruangan rekaman untuk membuat lagu?

"Duduk dulu, Al," ujar Nevan yang telah duduk duluan di kursi, lalu melambai pada seorang perempuan yang sedang menjaga meja depan.

"Kenalan?" tanya Ali duduk di sebelah Nevan.

Nevan mengangguk, "Dulu nge-band sama gue,"

Ali membelalak, "Cewek itu? Ikut band elo?"

Nevan melirik, lalu tersenyum, "Weits ... Dia keyboardist, pemanis di band,"

"Keyboardist?" gumam Ali, lalu melirik pada perempuan yang terlihat memainkan handphone. Hah, rasanya Ali ingin tak mempercayai ucapan Nevan tentang perempuan anggun yang duduk di depan meja itu adalah pemain keyboard. Tapi sepertinya ucapan Nevan memanglah benar.

Klik!

"Nevan!" seru seorang laki-laki yang baru saja keluar dari ruang studio mini tersebut.

"Beta!" sahut Nevan berdiri dibantu dengan tongkat ellbow-nya.

Laki-laki bernama Beta itu mengeryit, "Kenape sama kaki lo? Kok, bawa-bawa tongkat segala?"

"Oh, ini," Nevan melirik pada kakinya, "Waktu lalu gue kecelakaan, mungkin patah? Entahlah, yang pasti gak bisa terlalu digerakin,"

"Astaga, ada-ada aja," Beta menggeleng-gelengkan kepala, lalu tataannya jatuh pada Ali, "Weits! Siapa, nih? Dari tampang aja bakal jadi pemenang hati cewek-cewek,"

Ali menaikkan alisnya. Nevan terkekeh sembari menepuk-nepuk pundak Ali, "Anak buah gue, Bro! Yang mau gue daftarin lomba,"

"Wah, anak buah Nevan, ya? Gue gak ngeraguin kemampuannya kalo elo sendiri yang mengusulkan dia masuk kompetisi ini.  Toh, dulu biasanya juga lo jadi juri tes sama tukang ngetes vokalis," ujar Beta.

Oman Cafe [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang