Part.44 || Cahaya Yang Menyilaukan

17.9K 1.4K 29
                                    

Hari ketiga setelah kepergian Aghaz, teman-teman Queen dan anak-anak Grixen masih sering ke rumah Queen untuk menemani gadis itu sekaligus menghiburnya agar tidak terlalu larut bersedih. Sudah tiga hari juga Queen belum masuk sekolah. Guru-guru pun paham dengan keadaan Queen dan tetap memberikan izin untuk libur.

Di halaman belakang rumahnya, teman-temannya dan anak-anak Grixen angkatan 7 dan 8 yang datang sedang bermain kartu bridge dengan taruhan yang kalah wajahnya harus di coret dengan tepung. Dan satu-satunya cewek yang ikut bermain kartu disana hanya Asia. Gadis itu cukup ahli dalam bermain kartu meski wajahnya terdapat beberapa coretan tepung.

"YUHUUUU!! GUE MENANG LAGI!!" teriak Asia. Lagi-lagi menang dengan sangat telak. "Mana muka lo semua! Sini cepetan!"

Azam, Lugas, Rafka dan Sadewa yang ikut bermain kartu terpaksa membiarkan wajahnya kembali di coret dengan tepung oleh Asia.

"Curang lo, Kak! Masa dari tadi menang mulu sih!" kesal Sadewa.

"Sembarangan kalau ngomong!" Asia menggeplak kepala Sadewa. "Asal lo tau, gue udah khatam main kartu beginian! Jadi jangan main-main lo! Jagonya nih!" Asia menepuk dadanya sombong.

"Cih, ulang-ulang! Nggak terima gue! Dari tadi kalah mulu!" ujar Lugas tidak terima.

"Lo aja yang nggak bisa main!" ujar Benua pada Lugas.

"Masih berani nggak?" tantang Lugas pada Asia.

"Nantangin gue lo? Oke, lo jual, gue beli! Buruan kita main lagi. Tapi kali ini hukumannya beda!" ujar Asia.

"Apa hukumannya?" tanya Azam.

"Yang kalah keningnya di sentil. Gimana?" Asia menatap mereka dengan senyum menantang.

"Deal! Gue setuju! Gue ikutan!" sahut Haikal tiba-tiba datang dan ikut bergabung.

"Sip! Yok mulai! Gue yang kocok kartunya."

"Nggak ada! Gue aja! Ntar lo curang!" ujar Lugas mengambil semua kartu bridge di tangan Asia.

"Punya dendam apa sih lo sama gue? Perasaan dari tadi curigaan mulu bawaannya," ujar Asia heran.

Lugas lalu menunjuk wajahnya. "Balas dendam sama ini! Muka ganteng gue jadi jelek gara-gara lo!"

"Emang jelek dari sononya kali!"

"Dari pada ribut, mending gue aja yang kocok kartunya. Kalian pasti percaya, kan, sama gue? Kan, gue nggak ikut main," ujar Billy mengambil kartu tersebut dari Lugas.

"Terserah dah!"

Billy mulai mengocok kartu bridge ditangannya dan membagikannya rata pada keenam orang tersebut. Dan sisanya diletakkan di tengah-tengah lingkaran mereka.

Tak jauh dari mereka, Queen duduk di sofa teras halaman belakang rumahnya sembari menatap fotonya dan Aghaz. Queen tersenyum kecil saat mengingat kembali kenangannya dulu bersama sang adik. Tidak bisa dipungkiri bahwa rasa rindu itu sering ia rasakan. Kebiasaan yang dulu ia lakukan pada Aghaz masih belum berubah. Hampir setiap ia melakukan sesuatu tanpa sadar ia menyebut nama Aghaz.

Sekarang Queen masih mencoba mengikhlaskan kepergian sang adik. Queen juga berpikir bahwa tidak ada gunanya juga ia terus-menerus bersikap kekanakan seperti beberapa hari yang lalu. Karena Aghaz juga tidak akan senang jika melihatnya selalu bersedih.

Queen tersentak ketika merasakan usapan lembut di kepalanya. Lantas ia menoleh pada Vania yang entah sejak kapan sudah berdiri di dekatnya sembari tersenyum. Lalu Vania mengambil tempat di samping Queen, matanya tertuju pada album foto di tangan Queen.

"Lagi lihat apa, sayang?" tanya Vania.

"Foto aku dulu sama Aghaz, Tante."

Vania menyelipkan rambut Queen ke belakang telinga. "Kangen?"

ALTHAIR [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang