Semua orang berkumpul dihalaman keraton. Berkumpul untuk menyambut kedatangan Putri Sekar. Putri bungsu dari raja dan ratu itu baru pulang dari kediaman calon suaminya. Semua orang melempar bunga serta penari gambyong menari dengan lihai dihadapan mereka semua.
Sekar memberi salam pada raja dan ratu. Memeluk serta melepas rindu setelah lamanya mereka tak bertemu "bagaimana kabar ayah?"
"Alhamdulillah, ayah baik-baik saja. Sepertinya, putri raja ini sedang mengalami masa bahagianya"
"Ayah bisa saja" Sekar tertawa kecil. Candaan yang di berikan oleh sang ayah sering kali ia dapatkan saat kecil.
Sekar berjalan mendekati ibunya. Memeluk serta melepaskan kerinduan yang teramat mendalam "Sekar sangat rindu pada ibu"
"Ibu juga rindu pada Sekar"
Melihat kemesraan seorang ibu dan anak, membuat Kinanti merasa sedih. Ia tak jarang cemburu jika melihat begitu akrabnya seorang ibu pada anaknya. Begitu senangnya seorang anak mendapatkan perhatian dari sang ibu tercinta. Hal itu tak ia dapatkan. Raja Sulyadi yang bengis itu telah merenggut kesenangan itu darinya.
Aneh rasanya. Semua orang terlihat gembira. Senyuman manis pun terpampang jelas di wajah mereka semua. Namun di tengah keramaian penuh tawa bahagia itu, ada seseorang yang tengah memendam kesedihannya. Sudah tak mau lagi melihat hal ini, Kinanti melangkahkan kakinya meninggalkan keramaian itu.
Hal tersebut diketahui oleh Ningtyas. Sehingga membuat putri raja Kusuma itu mengikutinya "ada gerangan apa yang membuatmu menjauh dari keramaian?"
"Kenapa kau mengikuti diriku sampai kesini?"
"Aku merasa, kakak sepupu sedang dilanda kesedihan...."
"Kau tidak mengetahui apapun tentang diriku...."
"Selama ini kita dekat kakak sepupu. Kau tidak seharusnya menyembunyikan sesuatu dariku. Maaf juga jika perkataan ku tadi sedikit memaksa. Aku tau, kau selalu berbagi kebahagiaan denganku, tapi kenapa kau sama sekali tak berbagi kesedihan mu juga denganku?"
Kinanti tak mengucapkan sepatah katapun. Mulutnya terbungkam. Seakan tak bisa ia gerakkan. Ia tetap membelakangi adik sepupunya itu. Ningtyas sendiri tak mau menyerah. Ia berusaha untuk tetap mencoba menghibur kakak sepupunya. Ia mulai berjalan dan kini tepat berada di samping Kinanti. Satu tangannya yang putih mulus itu mengelap air mata yang membasah di pipinya "kau jadi tidak lucu lagi jika menangis seperti ini"
Sungguh keberuntungan yang sangat Kinanti syukuri. Ia tak henti hentinya berucap 'Alhamdulillah'. Bersyukur mempunyai sepupu yang sudah seperti saudara sendiri.
"Kakak sepupu tidak perlu bersedih. Aku yakin pasti ibumu baik baik saja. Ibumu pun tak senang jika melihatmu seperti ini. Aku disini, kita saling menguatkan. Okay" Ningtyas memeluk kakak sepupunya itu dari samping "Insyaallah, setiap penderitaan yang terjadi pasti akan segera usai.
Putri yang baru saja sampai di Martapura itu melihat mereka dari kejauhan. Raut wajahnya menjelaskan sedikit kerinduan dalam hatinya. Mereka dulu sangat dekat. Kemana-mana selalu bersama. Bahkan sedih jika terpisah begitu lama. Namun selepas insiden di masa lalu, membuat hubungan mereka renggang.
"Permisi tuan putri. Anda harus menemui permaisuri Keswari"
"Baik, aku kesana sekarang"