Ironis, padahal mereka semua sama-sama tau dan juga mencurigai orang yang sama. Sayangnya mereka sama sekali tak mempunyai bukti untuk kembali mendapatkan nama baik mereka.
"Saya akan melakukan apapun supaya mereka menerima akibatnya!" langkahnya lagi dan lagi terhenti kala ada salah seorang dayang yang masuk ke gubuk itu.
"Permisi yang mulia, Panglima besar Martapura datang hendak menemui anda"
Panik, Ningtyas sontak langsung bersembunyi di ruangan lain. Sikapnya itu membuat ibu dan kakaknya kebingungan
"Salam yang mulia ratu"
Prameswari terkejut saat tau jika Kelana rupanya mengetahui tentang gubuk ini "darimana kau tau tentang gubuk ini?
"Maaf karena saya telah lancang yang mulia. Saya yang memberitahu tempat ini pada panglima"
"Saya turut berduka cita atas apa yang terjadi di Panjaitan dan saya bersyukur karena anda dan lainnya bisa selamat. Kedatangan saya kesini juga untuk mengucapkan salam belasungkawa dari raja. Saya juga membawa titah yang dititipkan oleh Raja. Beliau menyuruh anda sekeluarga untuk tinggal di Martapura"
"Ucapkan salam ku pada Raja, dan katakan bahwa kami akan tetap tinggal di Panjaitan
Kelana menunduk "baik yang mulia, akan saya sampai keputusan anda pada Raja Mahesa. Sementara itu, raja juga sudah menyiapkan beberapa bahan pangan untuk anda dan yang lainnya...."
"Bawa juga semua itu kembali, aku...."
Sebelum ratu melanjutkan bicaranya, Hasanah dengan cepat menyahutnya "ibu...." Putri tertua ratu itu beralih pada Kelana "sampaikan terimakasih kami pada raja Mahesa!"
"Baik putri. Kalau begitu saya pamit. Assalamu'alaikum"
Setelah dirasa aman, Ningtyas bergegas keluar dari persembunyiannya "Kepada sudah pergi kan?"
"Memangnya kenapa jika Kelana melihatmu? Bukankah lebih baik jika dia tau bahwa kau baik-baik saja" sahut Hasanah.
"Aku tidak ingin berhubungan dengan panglima besar Martapura!" Ningtyas tanpa berpamitan langsung pergi dari gubuk itu. Prameswari yang hendak mengejarnya sontak dihentikan oleh Hasanah "sudahlah ibu, biarkan Ningtyas menghabiskan waktunya untuk menyendiri"
Ningtyas berjalan pelan tanpa tau arah dan tujuan. Ia hanya melangkahkan kaki serta sesekali menoleh kesamping kanan dan kiri. Hingga ia melihat sebuah pemandangan yang sangat indah. Sungai yang mengalir dengan air yang sangat jernih itu mengalihkan perhatiannya. Ningtyas berjalan dan kini berada tepat di pinggiran sungai itu. Bukan hanya itu, beberapa mawar putih yang tertanam rapih di pinggiran sungai itu juga menarik perhatiannya. Ia memetik salah satu bunga itu. Ia menatap inci demi inci keindahan sang mawar putih..
Bersamaan dengan itu, Kelana juga berada di tempat yang sama. Hanya saja, masing-masing dari mereka tau tau. Bukan hanya Ningtyas saja, namun Kelana juga memetik salah satu bunga mawar putih itu. Sebuah bunga yang mengingatkannya pada seseorang.
Suatu hari di sebuah taman bunga luas di tengah hutan. Seorang putri dengan suasana hatinya yang amat gembira, tengah sibuk memetik satu tangkai demi tangkai lainnya.
Mawar putih nan cantik itu menarik perhatiannya. Harum bunga yang tercium itu juga semakin membuat sang putri senang.
"Hmmh" sang putri mencium bunga itu "andai saja aku bisa membawa semua bunga ini ke Keraton"
"Rupanya anda juga senang melihat keindahan mawar ini putri" Orang itu datang tiba-tiba dan menghampiri Ningtyas
"Kelana!"
Kelana sedikit membungkukkan badan dan memberi salam pada sang putri "maaf jika saya lancang datang tanpa memberi salam tuan putri"
"Oh, tidak masalah. Bahkan aku sudah menganggap mu sebagai teman. Jadi kita tak usah terlalu formal"
"Membicarakan tentang mawar putih, ternyata bunga ini adalah bunga tertua didunia. Warnanya yang putih bersih membuat mawar putih digunakan sebagai simbol kebaikan. Selain itu, karena bunga mawar putih memiliki arti yang bagus, bunga ini juga sering digunakan dalam acara-acara yang sakral. Seperti...."
"Bunga itu akan cocok jika menjadi hiasan di pernikahan kita"
Kelana dibuat terkejut dengan perkataan sang putri. Ekspresinya itu tanpa adanya kegugupan. Bahkan Ningtyas mengatakan hal itu sembari dirinya yang tersenyum.