Putra mahkota terlihat sangat kesal kala mengetahui bahwa bukan Ningtyas yang datang menghampirinya. Ia nampak mengepalkan kedua tangannya. Begitu Kelana sudah duduk dihadapannya, ia menggebrak meja dengan sangat keras "beraninya kau datang kesini. Setelah kau lebih memilih Ningtyas dan menolak mentah mentah putriku"
"Saya hanya merasa harus menghampiri anda saat ini"
"Kau sudah terang terangan tak mau berpihak pada kami, itu artinya dengan jelas kau itu adalah musuhku"
"terserah anda hendak menyebut saya seperti apa. Namun yang pasti, saya tak akan tinggal diam jika anda bertindak lebih jauh lagi"
"Hhhh, apa yang bisa kau lakukan? Bekerja sama dengan si rendahan Ningtyas itu tak akan bermanfaat sama sekali bagimu. Kau pun hanya mantan dari rakyat biasa. Kau diangkat sebagai panglima besar Martapura karena kebaikan raja Mahesa. Aku lebih berkuasa daripada dirimu, maka kau tak akan bisa menggulingkan diriku"
"Apakah anda pura-pura tidak mengetahui tentang insiden yang menimpa mantan raja. Anda memang punya kuasa besar di Martapura, maka tak heran jika anda pasti juga mengetahui sejarah keraton ini sebelum dipimpin oleh Raja Mahesa"
"Apa yang kau bicarakan?"
"Mau sampai kapan anda mengelak?"
Setyo nampak tersenyum sinis pada Kelana "rupanya gadis itu sudah bercerita padamu"
"Benar, dan saya juga sudah tau bahwa anda merupakan seorang putra haram yang sampai kapanpun tak akan bisa memimpin Martapura. Anda harus lebih berhati-hati mulai dari sekarang. Siapa tau keturunan dari mendiang raja masih ada yang tersisa dan ingin mendapat kembali tahta yang seharusnya menjadi miliknya" Kelana berdiri dan memberikan salam pada putra mahkota, setelah itu bergegas pergi meninggalkannya.
Emosinya itu yang sedari tadi ia tahan akhirnya terbuka juga. Ia langsung memukul tembok disebelahnya, hingga tangannya itu terluka bahkan sampai berdarah sekalipun. Ia sangat kesal mengetahui putra mahkota yang rupanya bertindak seolah tak tau apa-apa "bisa-bisanya dia masih mengelak. Padahal dia sendiri ada di tempat dimana orangtuaku dibantai"
Ningtyas terlihat berlari kearahnya. Gadis itu melihat tangan Kelana yang terluka. Ia segera menyobek sedikit dari kain kebayanya, lalu meletakkannya pada luka Kelana "kenapa tanganmu bisa sampai terluka seperti ini? Apakah putra mahkota menyakiti dirimu?"
Sama sekali tak menjawab, Kelana justru memeluk Ningtyas pada saat itu juga. Pelukan itu sahabat erat hingga Ningtyas sejenak susah untuk bernafas. Namun kenyamanan yang ia dapatkan itu seolah membuatnya lebih rileks "ada apa? Apa yang sudah terjadi padamu Kelana"
"Aku sudah membuat keputusan. Ning, aku berjanji akan berusaha mengakhiri ini semua. Aku akan menerima keputusanmu. Aku akan mengaku kepada mereka semua bahwa akulah pewaris tahta yang sebenarnya"