"Cepat tangkap mereka!!!!" Suara dari beberapa pemberontak itu terdengar. Rupanya beberapa dari mereka berhasil menemukan keberadaan sang putri dan juga kelana. Jumlah mereka cukup banyak, Kelana pun tak mungkin jika harus melawan mereka semua seorang diri. Ia dengan cepat kembali menggandeng erat tangan Ningtyas dan berlari sekencang mungkin menghindari para pemberontak itu.
Sudah cukup jauh mereka berlari, sang putri mulai kelelahan "Kelana, sepertinya mereka sudah tidak mengejar kita. Sebaiknya kita istirahat sejenak"
Kelana menurut, fisik sang putri memang tak sekuat dirinya. Ia juga tak ingin putri menjadi sakit akibat memaksa untuk terus berlari.
Mereka yang hanya berdua saja di tengah-tengah sepinya hutan belantara, bingung hendak melakukan apa. Ningtyas yang sudah mengatakan bahwa ia akan pergi sendiri ke rumah masa kecilnya, membuat Kelana gelisah tak menentu. Ia takut jika ini kali terakhir mereka bertemu. Bagaimana jika ini adalah pertemuan terakhir mereka. Ia sama sekali belum mengungkapkan isi hatinya pada putri Pandjaitan itu.
"Putri...."
Ningtyas menoleh kala Kelana memanggil namanya "iya Kelana?"
"Sepertinya ini akan menjadi pertemuan terakhir kita. Sebenarnya ada hal yang harus saya sampaikan pada anda"
"Beri tau saja Kelana!"
Kelana merasa gelisah, ia menyembunyikan perasaan sejak lama dan kini harus jujur mengenai isi hatinya pada seseorang yang dicintainya.
"Maafkan saya jika lancang tuan putri" dengan nafasnya yang sedikit berat, Kelana memegang pipi Ningtyas dengan kedua tangannya. Ia mendekatkan wajah lalu menyatukan bibir mereka. Ningtyas begitu terkejut dengan apa yang Kelana lakukan. Namun ia sendiri juga bingung dengan apa yang saat ini ia rasakan.
Hingga suara tapak kaki kuda terdengar, mereka sontak berhenti dan menjauhkan wajah masing-masing.
"Kelana, sepertinya mereka mengetahui keberadaan kita"
Kelana tanpa pikir panjang langsung menggandeng tangan Ningtyas dan membawanya lari bersamanya.
Mereka sudah berlari cukup jauh, namun langkah mereka kalah dengan seekor kuda. Ningtyas merasa kehabisan nafas. Jantungnya terasa sesak saat mereka terus berlari. Ia terjatuh karena tak lagi mampu menahan dadanya yang terasa sangat berat.
Ningtyas memegang serta mencengkeram kuat dadanya. Rasa sesak itu membuatnya tak mampu berjalan "tunggu Kelana! Bisakah kita berhenti sejenak. Aku tidak kuat lagi.... akhh"
Kelana tak kuasa melihat tuan putri yang kesakitan, namun ia juga tak ingin membiarkan mereka ditangkap oleh para pemberontak itu. Ia lantas membungkukkan tubuhnya "putri naik ke punggung saya"
"Em, t-tapi" sejujurnya ia masih canggung dengan apa yang terjadi pada mereka berdua beberapa waktu lalu. Rasa gugupnya masih belum hilang kala ia mendapatkan ciuman pertamanya. Namun disisi lain ia sepertinya juga harus menurut pada Kelana. Jika tidak, pasti dirinya akan tertangkap dan usahanya untuk kabur itu akan sia-sia.