Chapter 30. Pergi

24 6 3
                                    

Mantan putri Panjaitan itu tak bisa hanya diam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mantan putri Panjaitan itu tak bisa hanya diam. Gadis itu semakin ambisius kala sang ibu terus saja menahannya untuk pergi.

"Aku tak bisa diam seperti ini. Aku harus melakukan sesuatu. Ranu.... iya, aku harus meminta bantuan pada orang itu"

Sang putri mengajak Ranu bertemu di halaman belakang gubuk yang saat ini mereka tempati.

"Ada gerangan apakah anda ingin bertemu saya di sini?"

Ningtyas tanpa basa-basi langsung memberikan sebuah surat pada Ranu "aku harus pergi sekarang. Jika ibuku mencari ku, berikan saja surat ini padanya. Assalamu'alaikum"

"Waalaikumsalam" entah kenapa kali ini Ranu tak menahan sang putri. Sudah tentu, berhari-hari gadis itu dikurung di dalam kamarnya. Hatinya pasti dipenuhi kegelisahan. Bahkan ia marah pada diri sendiri karena tak bisa membantu orang yang ia cintai.

Ningtyas nekat pergi tanpa persiapan yang matang. Ia hanya membawa beberapa pakaian biasa serta makanan yang tak cukup banyak. Ini adalah kali pertamanya ia bepergian jauh tanpa adanya pengawalan "pengawalan apa? Aku saja bukan seorang putri. Hm, ternyata ini yang di rasakan oleh Kelana selama ini. Ia bepergian jauh dari satu daerah ke daerah lainnya, hanya untuk mencari sesuatu yang bahkan aku sendiri tidak mengetahuinya. t-tunggu, kenapa aku memikirkannya" Ningtyas memukuli kepalanya sendiri "sudahlah Ning, lupakan orang yang sudah berkhianat padamu!"

Seberapapun usaha yang Ningtyas lakukan untuk bisa melupakan Kelana, namun itu termasuk hak sulit yang ia lakukan. Sama sekali tak bisa dipungkiri bahwa perasaan cinta itu sudah timbul. Ningtyas tidak tau sejak kapan ia menyukai Kelana. Apakah sejak kejadian sebelum mereka berpisah?

Memikirkan senus itu sebenarnya membuat kepalanya pusing. Setiap kali ia mengingatkan kenangan manis dengan Kelana, ia selalu menepis pikiran itu "orang itu kini sudah menjadi panglima besar Martapura. Mana mungkin dia bisa mendapatkan posisi tinggi semudah itu. Apa dia bersekongkol dengan seseorang? Kalau memang benar, itu artinya tujuannya adalah Martapura?"

Srang.... Sebuah pedang berada tepat di samping kepalanya. Ningtyas melihat beberapa gerombolan orang yang sepertinya mereka adalah rakyat biasa "siapa kalian. Beraninya menodongkan pedang itu di leherku" ucapnya meskipun sedang diselimuti rasa takut.

"Kami adalah para perampok dari Martapura? Kenapa memangnya, kau mau apa?"

tamatlah riwayatnya, bahkan Ningtyas sendiri belum begitu ahli dalam memainkan pedang. Ia hanya belajar selama beberapa hari dengan bantuan Ranu. Sebuah pedang kini hampir saja bisa memotong lehernya. Apa yang harus ia lakukan sekarang?

"tenanglah Ning, orangtuamu pernah berkata untuk mengawali apapun dengan 'Bismillah' dengan begitu Insyaallah kau akan selamat!" dengan diri yang diselimuti ketakutan itu, serta sebuah tekat yang kuat untuk melindungi diri. Ningtyas dengan sigap menendang kaki orang yang ada didepannya. Ia bergegas berdiri dan mengeluarkan pedang miliknya "tunjukkan bahwa kalian bukanlah orang yang pengecut!"

Power StrugleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang